12. 3 hari terakhir bersama Vino (2)

28 5 0
                                    

Malam ini aku sedang menonton tv dengan Dito di ruang tengah.
Si mbok sudah tidur di kamarnya.

"Hey Dito, nampaknya kau makin dekat dengan kak Nari, apa kau benar-benar menyukainya?" Tanyaku, tanpa ekspresi.

"Bisakah kau menanyakannya satu per satu? Janganlah kau menggunakan ekspresi itu, itu membuatku takut" mendengarnya, aku mengangkat satu alisku, dan seakan mengisyaratkan ーmemangnya bagaimana ekspresiku?ー

"Jangan menambah tatapan itu, kau seperti mengintimidasiku" jawab Dito.

"Jawablah pertanyaanku yang diawal tadi, tidak usah bertele-tele" jawabku ketus.

"Aku sendiri belum tahu bagaimana perasaanku saat ini terhadapnya, apa kau bisa membantuku Rannasta?" Aku langsung memalingkan wajahku dari tv, dan langsung menghadap Dito. Tepat kuarahkan mataku ke manik matanya.

"Dengan senang hati, aku akan senantiasa membantumu, ini balasanku karena kau juga sudah sangat baik padaku" lalu aku mengarahkan pandanganku kearah tv lagi.

"Terimakasih Rannasta.." jawabnya, dan aku mengangguk.

Sepertinya, ini saat yang tepat untuk aku meledeknya. Sekilas aku tersenyum miring.

"Bagaimana perasaanmu padaku, apa kau masih menyukaiku?" Aku berusaha menahan tawa, saku bisa merasakan keterkejutannya, tapi aku berlagak acuh tak acuh dan tetap terfokus memandang tv .

"A-a-apa? B-bagaimana ka-kau tahu tentang it-itu" jawabnya, sangat terbata-bata. Aku hanya diam tak merespon.

"Apakah kau terlalu pintar, sehingga kau pun tahu tentang isi hatiku?" Tanyanya yang membuatku menengok kearahnya.

"Hey! Sudah berulang kali aku berkata padamu! Jangan bahas tentang kata pintar!" Aku membentak, aku memang tak menyukai itu.

"Lalu bagaimana kau tahu?" Tanyanya.

"Ingin rasanya aku menelungkupkan dirimu kedalam sumur, apa kau tidak ingat? Kau pernah bilang suka padaku, lalu aku memotongnya?" Dito hanya menggaruk tengkuknya, guna merespon penjelasanku.

***

Hari kedua ini, akan aku manfaatkan sebaik mungkin.

Dito masih tertidur, aku tak tega membangunkannya, lantas aku bergegas keluar rumah untuk menuju rumah Vino, dengan membawa sepeda kesayanganku.

.

.

Kulihat ada sesosok pria yang sedang duduk di kursi rodanya, sedang berjemur diluar rumah ー Vino .

"Haii Vin, apa kau sudah makan?" Tanyaku, setelah memarkirkan sepedaku didekat pagar rumah.

"Bukan urusanmu" aku tersenyum, menanggapi ketusnya Vino kepadaku.
Tapi, hal itu justru membangkitkanku untuk tetap bersemangat menyadarkannya.
Bahwa yang dia alami ini adalah batu kecil yang tidak sengaja tersandung olehnya.

"Tentu itu urusanku, apa kau ingin jalan-jalan?" jawabku, sekaligus bertanya, dan dia menatapku dengan tatapan heran.

"Apa kau gilー"

"Aku tidak gila, dengarkan aku dulu... kau tetap duduk di kursi rodamu, kau berjalan menggunakan kursi rodamu, dan aku berjalan dengan satu kakiku" aku tersenyum, dan menatapnya penuh harap, berharap dia menerima ajakkanku.

Tanpa bujuk rayu apapun kulihat dia menganggukkan kepalanya sudah pasti itu mewakili berbagai macam kata yang berinti 'iya' . Senyumku mulai mengembang lebar.

Mulailah kami berjalan berdampingan, seperti yang ku janjikan padanya, aku akan berjalan dengan satu kakiku saja.

"Kenapa kau melakukan ini?" Tanyanya, yang memecah keheningan diantara kami, aku menatapnya dengan tatapan seolah aku bertanya ーmaksudnya?ー .

"Ck." Jawabnya. Ranna bodoh, mana mau dia berkata panjang lebar?

"Eh maaf, apa yang kau tanyakan tentang aku berjalan dengan satu kaki?,
Aku merasa, selama ini kau mengurung seharian di rumah karena kau malu, maaf sebelumnya apabila perkataanku ini menyakiti hatimu, mungkin kau takut akan ditertawakan, dihina, dan sebagainya. Aku akan menerima hinaan itu semua bila dilontarkan untukku, daripada kepadamu, menurutku mereka tak pantas mengatakan apapun kepadamu, karena mereka tidak tahu apa-apa tentangmu, kau tidak usah merasa malu dan takut, karena itu yang membuat mereka menganggapmu menjadi sasaran empuk untuk merendahkanmu, kau harus tunjukkan pada mereka, bahwa kau tidak selemah apa yang mereka pikirkan. Dan tenanglah, aku tidak pernah malu untuk melakukan ini, apabila mereka menatap sinis atau seolah mencela kearahmu, itu sama saja mereka mencelaku juga, karena fisik kita sekarang sama. Percayalah, aku akan selalu disisimu, kala kau senang, sedih. Aku ikhlas apabila kau mengacuhkanku.
Maafkan aku baru bisa melakukan hal yang tidak bernilai apa-apa seperti ini, sebagai sahabatmu. Tapi aku akan berusaha menjadi sahabat terbaikmu" aku hanya mengatakan itu dengan pandangan lurus kedepan, dan tak perduli tatapan orang-orang kepada kami.

Vino hanya diam, tak apa aku tak dijawab sepatah katapun darinya, yang penting aku sudah memberi sedikit ketenangan untuknya.

Kami berjalan dalam keheningan, dan sampailah di Pantai...
Aku duduk di kursi, dan Vino duduk di kursi rodanya.
Entah mengapa, pandanganku mulai buram, mataku sangat berat, untuk membuka, dan akhirnya aku memejamkan mataku.

VINO POV ー ON

Aku mengulurkan tanganku guna menyingkirkan anak rambut-anak rambut yang tergulai bebas menimpa wajah cantik Ranna.

"Ranna, hatimu ini terbuat dari apa...
Aku sudah jahat kepadamu, tapi kenapa kau masih tetap kekeuh untuk bertahan berjuang supaya aku bisa luluh, dan berubah seperti dulu...

Ranna, kau seperti malaikat yang terlihat, yang diutus Tuhan dan diberikan kepadaku.

Tuhan, maafkan aku telah melukai hati malaikat ini, dan tidak bisa menjaga hatinya dengan sepenuh hati.

Ranna, kuharap di Amsterdam kau bisa mendapatkan sahabat baru yang lebih baik daripada aku.
Dan mungkin akan membelikanmu 1 kulkas berisikan es krim vanila, membelikan crayon yang baru supaya kau bisa menciumi bau khasnya itu ーRanna sangat menyukai bau khas crayon baruー, membelikanmu barang-barang yang berwarna polkadot ーRanna sangat menyukai polkadot, benda kecil pun itu pasti bernuansa polkadotー, dan yang pasti dia tidak akan membentakmu lagi seperti aku ini" aku berbicara pada seorang Ranna yang sedang tertidur.

VINO POV ー OFF

Sudah kuduga, pasti kau hanya berpura-pura ketus terhadapku..

"Memangnya hatiku kenapa Vin?

Karena aku tak ingin kau merendahkan dirimu sendiri, aku ingin kau bangkit dari keterpurukkan yang malah membuatmu semakin terpuruk.

Aku hanya manusia biasa Vino.

Kau sudah membuatku bahagia dengan kau menjadi sahabatku saja itu sudah lebih dari cukup Vino..

Bukan berarti aku akan menggantikanmu, mungkin aku hanya menambah, tapi aku belum berniat untuk hal itu, aku masih ingin selalu bersamamu..
Hahaha, kau masih ingat saja, sikap anehku yang satu itu,
Es krim vanilaa...
Hey.. kurasa barang polkadotku sudah cukup...

Persahabatan itu tidak dapat digantikan dengan apapun Vino... apalagi dengan hal semacam itu, aku juga bisa membelinya sendiri, tanpa mencari sahabat baru"

Ya, sebenarnya aku sudah tersadar dari tidurku, tapi aku masih memejamkan mata, karena aku ingin mendengar Vino berbicara.
Dan aku menjawab semua perkataannya di dalam hati.

~

Apakah mataku harus selalu terpejam supaya aku bisa mendengar suaramu yang berbicara panjang denganku lagi?

Dan berinteraksi denganmu lagi, tapi aneh, seakan ada benteng yang menghalangi kita.

Kau berbicara saatku memejamkan mata,
Aku menjawabnya di dalam hati.

Beach FriendshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang