Part 4 ✨

49 37 13
                                    

Dewa tidak pulang ke rumahnya melainkan ke apartemen yang ia beli satu bulan yang lalu. Sejak orang tuanya pindah ke Australia Dewa jarang sekali pulang.

Seperti yang ia sampaikan kepada Bik Ira tadi, bahwa ia akan ikut balap motor malam ini. Dewa melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 18.00 ia pun bergegas membersihkan diri dan bersiap untuk pergi menemui teman-teman dahulu.

Ia harap Asya tidak tahu apa yang terjadi malam ini. Asya paling takut jika Dewa mengikuti balapan motor. Apalagi saat gadis itu pernah melihat Dewa terjatuh saat perlombaan. Dewa selalu menyembunyikan hobi nya ini dari Asya dan dibantu oleh teman-temannya yang lain.

Drrrtt drrrt

"Halo."

"Kak Dewa dimana?."

"Apartemen."

"Mama suruh pulang, ditungguin makan malam di rumah."

"Mama pulangg?."

"Iya. Cepetan ihh."

"Oke."

Dewa bersiap untuk pulang saat tahu orang tuanya ada di Indonesia. Mungkin saja karena Ale sakit oleh sebab itu orang tuanya pulang, atau karena dirinya?.

Sepanjang jalan pulang, pikiran Dewa tidak menentu. Ia bergelut melawan pikirannya sendiri. Memikirkan Asya, Orang tua, Adiknya, teman-teman hingga dirinya sendiri. Ia ingin semua ini segera selesai seperti yang sudah ia rencana.

Tak terasa ia sudah sampai didepan gerbang rumah orangtuanya. Dewa memarkirkan motornya disamping mobil sport Alesya.

"Assalamu'alaikum," ucap Dewa

"Wa'alaikumussalam. Sayangggg." Saat tahu anak laki-lakinya pulang, ibu Dewa bergegas memeluknya.

Bagaimana tidak, sudah beberapa waktu ia tidak pulang ke Indonesia dan bertemu kedua anaknya. Ia dan suami hanya sibuk bekerja saja.

"Cupp. Anak ganteng mama, ehh Asya kok nggak ikut Wa?," tanya Hanny saat melihat tidak ada pacar dari anaknya ikut.

"Asya kurang sehat jadi nggak Dewa bawa."

"Loh. Malam tadi mama teleponan sehat-sehat aja. Kamu bohongin mama ya?"

"Huft. Mama ku yang bawel, Asya hampir seharian ini nangis, gimana nggak sakit."

Plakkk.. terdengar begitu nyaring. Hanny memukul lengan Dewa bertubi-tubi. Karena mendengar bahwa Asya sakit karena menangis.

"Aduhhh Maa. Kok Dewa dipukul sihh."

"Lagian kenapa Asya bisa nangis sihh. Pasti gara-gara kamu kan?"

"Iya Ma." Bukan Dewa yang menjawab melainkan Ale. Ale sangat suka mengganggu Dewa apalagi jika laki-laki itu sedang berdebat dengan ibunya.

"Tuh kan. Kok bisa Dek?."

"Kan Ale sakit terus nggak sekolah tadi, nahh Kak Dewa nggak kasih tahu Asya kalo Ale sakit terus hp nya Ale juga ketinggalan. Eh bukan ketinggalan tapi di tas nya Kak Dewa. Jadinya Asya nangis dehh."

"Tuh kan Dewa! Sekarang antar mama ke rumah Asya dulu."

"Ma! Besok aja ya, udah malam juga. Asya mau istirahat." Mana mungkin ia akan mengantarkan ibu ke tempat Asya, yang ada dia akan gagal ikut balapan.

"Mana mau kak Dewa antar, dia kan mauu-" Dewa dengan cepat menutup mulut ember adiknya ini. Bisa hancur jika ibunya sampai tahu dia akan kemana.

"Mau apa?."

"Hehe nggak ada ma."

"Ayo Dewa!"

"Ma. Asya sakit loh, dia butuh istirahat. Besok pagi aja ya, sekalian Dewa ke sekolah. Okey! Sekarang kita makan dulu, Dewa lapar."

Sedangkan di sofa dekat tv, seorang laki-laki yang sudah tidak lagi muda. Siapa lagi kalau bukan ayahnya Dewa yaitu Ernandes Fransisco. Nandes hanya memandang perdebatan istri dan anak laki-laki itu, tanpa berniat untuk ikut campur karena juga percuma.

"Bagaimana sudah selesai?," ucap ayah Dewa

"Perut papa sudah lapar, melihat pemandangan didepan mata ternyata tidak membuat kenyang." Hanny melototkan matanya, mendengar perkataan suaminya itu.

"Ya udah. Ayo kita malam."

*Meja Makan

"Dewa!" panggil laki-laki tua yang dinobatkan sebagai kepala rumah tangga itu.

"Iya Pa."

"Jadi kapan kamu mau ke Singapura? Jangan terlalu lama menunda."

Dewa menghela nafas panjang. Ia menghentikan makannya dan menaruh dengan pelan sendok miliknya.

"Bagaimana jika tidak udah ke Singapura pa?"

"Nggak bisa gitu sayang. Mama nggak mau ya kamu berubah pikiran lagi. Kita udah rencanakan semua dengan matang loh," ucap ibunya.

"Mama kamu benar. Semua ini demi kamu. Papa harap setelah ini kamu bisa memberikan kepastian kepada Papa. Setelah itu Papa akan urus semua surat keberangkatan kamu ke Singapura dan Ale akan ikut."

"Loh. Gimana dengan sekolah Alesya pa?," ucap Ale dengan nada sendu.

"Kamu bisa homeschooling disana sayang." Mendengar ucapan ayahnya Alesya hanya bisa pasrah.

"Dewa sudah selesai. Dewa ke kamar dulu." Dewa meninggalkan meja makan dengan perasaan yang tidak tenang, bahkan makan malamnya saja masih tersisa.

"Papa tunggu secepatnya jawaban kamu Dewa!!" ucapan itu tidak mampu menghentikan langkah kaki Dewa. Dewa terus melanjutkan langkahnya menaiki setiap anak tangga tanpa menanggapi sepatah katapun perkataan ayahnya.

"Pa. Apa kita terlalu memaksa Dewa?," ucap Hanny, ibunya Dewa.

"Jangan sampai kamu juga berubah pikiran Hanny. Ini demi kebaikan dia juga."

"Baiklah."

"Ale. Kamu tidak perlu mengatakan apapun dengan Asya ataupun yang lainnya. Papa juga nggak mau Asya kenapa-kenapa. Ingat ini juga hanya sementara. Kamu paham?."

"Iya Pa."

*Kamar Dewa

Sejenak Dewa ingin menenangkan pikirannya. Sudah lama ia tidak merokok, namun malam ini ia akan sedikit bernostalgia dengan rokok kesayangan. Dewa memandang langit malam ini yang bertaburan bintang. Dewa memotret bintang dari kejauhan, ia tahu bahwa Asya sangat menyukai bintang.

Begitu banyak hal yang tidak mampu Dewa ceritakan kepada Asya. Ia merasa sangat bersalah saat ini kepada gadis itu. Gadis yang mengisi hatinya beberapa tahun ini. Dewa begitu lemah jika harus menyampaikan kenyataan pahit. Ia tidak akan mampu menopang kesedihan yang akan dirasakan Asya.

Entah sampai kapan ia akan bersembunyi dibalik ketegarannya selama ini.

"Sya Maaf." Itulah ucapan yang begitu pilu saat ini, ucapan yang tak mampu menjelaskan segalanya.

.
.
.
.
.
Next lebih semangat ✨✨

You and My TulipsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang