*Kamar Asya
Matahari sudah naik begitu tinggi, dan Asya sudah tertidur 4 jam lamanya sejak kembali dari sekolah tadi. Dewa juga masih setia berada di samping Asya dan tidak berniat untuk membangunkan gadis itu. Biarkan saja ia bangun dengan sendirinya.
Namun, Dewa merasa perutnya begitu lapar. Ia pun turun dari ranjang dengan pelan dan menuju dapur untuk mencari apa yang bisa ia makan.
"Den Dewa," ucap Bik Ira yang membuat Dewa sedikit terkejut.
"Eh Bik Ira, kirain siapa."
"Den Dewa mau makan ya?."
"Iya Bik. Tadi pagi nggak sempat sarapan di sekolah."
"Haduhh kenapa nggak bilang dari tadi. Bentar biar Bik Ira siapkan yaa. Den Dewa tunggu aja di meja makan."
"Hmm." Dewa menganggukkan kepalanya dengan pelan, lalu menuju meja makan.
Di sisi lain terlihat seorang gadis sudah terbangun dari tidurnya. Ia melihat kiri dan kanan seperti mencari sesuatu. Namun, ia tidak menemukan yang dicari.
"Kak Dewa jahat bunda, Asya ditinggalkan sendirian di kamar, dan Kak Dewa nya nggak tahu dimana hiks." Asya kembali menangis, pasalnya ia tidak menemukan keberadaan dari Dewa. Padahal ia ingat tadi Dewa yang membawanya ke kamar. Tapi sekarang lihatlah, ia hanya sendirian di kamar ini.
Sedangkan diluar kamar Bik Ira yang sedang menyapu lantai dua, mendengar suara tangisan dari balik pintu kamar Asya. Ia pun bergegas menuju kamar Asya.
Klekk
"Loh non Asya kenapa nangis lagi?." Bik Ira pun menghampiri Asya dan memeluk gadis itu untuk menenangkannya.
"Kak Dewa jahat Bik -" sebelumnya melanjutkan ucapannya, Bik Ira sudah memotong lebih dulu.
"Jahat kenapa?."
"Perasaan Asya tadi Kak Dewa yang bawa Asya ke kamar, terus Asya lihat kok nggak ada. Kak Dewa tega ninggalin Asya sendirian di kamar hiks." Asya kembali menangis tersedu-sedu.
"Non Asya yang cantik. Den Dewa nggak jahat, dan Den Dewa juga ninggalin non kok. Tadi Den Dewa ke dapur karena kelaparan, katanya tadi pagi nggak sempat sarapan di sekolah."
Mendengar penjelasan Bik Ira, Asya merasa bersalah karena sudah menuduh Dewa. Dan juga ternyata gara-gara Asya juga, Dewa tadi tidak sempat sarapan.
Asya pun perlahan menurunkan kakinya ke lantai, untuk menemui Dewa di dapur.
"Asya mau ke temu Kak Dewa," ucapnya pelan.
Saat akan melangkah, laki-laki yang dicari itupun muncul dari balik pintu.
"Mau kemana?," ucap Dewa dengan suara khasnya.
"Mau kemana Asya?," ucap Dewa kembali
"Hiks" bukannya menjawab Asya hanya menangis dan berlari ke pelukan Dewa.
Dewa menggendong Asya seperti koala menuju ranjangnya. Sedangkan Bik Ira sudah pamit keluar.
Asya masih memeluk erat tubuh Dewa seakan tidak ingin pisah, dan masih diiringi tangis pilu dari gadis itu. Dewa merasakan bajunya yang kian basah, ia mengusap pelan punggung Asya agar lebih tenang.
Karena terlalu lama berpelukan, Dewa mencoba menjauhkan tubuh Asya. Dan memperhatikan dengan lekat wajah yang memerah itu. Dewa menghapus cairan yang turun dari hidung Asya dengan bajunya tanpa rasa jijik.
Dewa menaruh kedua tangannya di samping kiri dan kanan kepala Asya, dan meminta gadis itu untuk melihatnya.
"Udah ya. Sekarang cerita kamu kenapa? Apa yang buat kamu dari tadi nangis," ucapnya dengan Pelan.
"Asya marah sama kakak karena nggak bilang kalo Ale sakit, trus Asya mau menghubungi kakak tadi tapi hp Asya ketinggalan terus pas Aya telpon, Kaka nggak angkat dan nggak balas juga hiks terus -"
"Terus?."
"Terus tadi pas Asya bangun, Asya ngga lihat Kak Dewa. Asya pikir Kak Dewa pergi ninggalin Asya sendirian hiks."
"Berhenti dulu nangisnya, bisa?," ucap laki-laki itu dengan tegas, jika tidak seperti itu maka Asya akan melanjutkan tangisannya.
"Hmm bisa," ucap Asya pelan. Ia mencoba menahan untuk tidak kembali menangis. Ia takut Dewa akan marah seperti dulu karena ia yang selalu menangis.
Dewa menarik pelan tubuh Asya ke pelukannya lalu mencoba menjelaskan semuanya tanpa ada yang dipotong.
"Pertama mengenai Ale. Iya Ale sakit, hanya demam dan tidak terlalu parah. Ale cuma perlu istirahat kata dokter. Aku kira kamu udah lihat grub, karena Ale sudah mengabari di grub kelas. Maaf ya sayang." Dewa mengecup kening Asya dengan penuh kelembutan.
"Kedua Maaf Aku lupa, tadi hp kamu di tas aku. Karena tadi pas berangkat Pak Ameng yang kasih, hp kamu tertinggal di kursi tamu." Dewa kembali memberikan kecupan manis untuk Asya.
"Maaf tadi aku sengaja nggak lihat hp, karena aku lagi fokus sama anak-anak yang terlambat. Dan terakhir, aku nggak ninggalin kamu sayang. Aku lapar karena tadi padi nggak sarapan." Kecupan terakhir untuk si cantik Asya.
"Udah jelas semuanya? Atau masih mau nangis?," ucap Dewa sedikit tersenyum menggoda.
"Maafin Asya juga." Asya semakin memeluk erat tangannya di leher Dewa dan tak lupa ia juga membalas kecupan di pipi milik laki-laki itu.
Setelah beberapa saat tanpa suara, Dewa pun melepaskan pelukannya pada Asya. Ia menuju kamar mandi dan menyiapkan air hangat untuk Asya.
"Mandi dulu gih. Biar lebih segar tubuhnya. Aku pulang juga ya."
"Aaa nggak mau. Kak Dewa harus tidur sama Asya malam ini."
"Nggak bisa sayang. Aku ada kerjaan di kantor papa." Tentu saja Dewa bohong, yang benar adalah ia akan ikut balap motor malam ini. Jika ia jujur kepada Asya sudah pasti gadis itu tidak akan menyetujui atau Asya akan ikut.
Sungguh pilihan yang tidak bagus menurut Dewa. Dia tidak mungkin membawa Asya ke arena balapan apalagi malam-malam.
"Isss. Kenapa papa suruh kakak kerja terus sihhh."
"Biar nanti pas nikah sama kamu, aku udah ada uang." Goda Dewa yang membuat wajah Asya sedikit memerah.
"Tapi nanti malam Asya telpon kakak yaa."
"Nggak janji bisa angkat ya sayang. "
"Huft. Ya udah deh. Peluk dulu sebelum pulang." Dewa menuruti kemauan Asya dengan memeluk erat gadis itu.
"Maaf ya aku bohong." Batin Dewa
"Oke udah. Aku pulang, jangan lupa bersih-bersih."
"Dahh."
Dewa meninggalkan kamar Asya. Perlahan tubuh Dewa menghilang dari penglihatannya. Asya kembali merasa sepi saat ini. Ia pun akhirnya memutuskan untuk membersihkan diri seperti yang diminta oleh Dewa.
Di sisi lain, saat sampai di lantai bawah. Dewa tak sengaja bertemu Bik Ira. Ia pun juga pamit untuk pulang.
"Bik. Nanti malam Dewa ada balapan motor, pastiin Asya ngga kemana-mana yaa. Dan jangan kasih tahu juga."
"Oke Den. Hati-hati ya nanti, pokoknya keselamatan nomor satu."
"Iya Bik. Dewa pamit," ucap Dewa sembari melangkahkan kakinya keluar rumah dan tak lupa ia menyalami wanita tua itu.
.
.
.
.Yukk bantu support ✨✨
KAMU SEDANG MEMBACA
You and My Tulips
Novela JuvenilCerita yang ringan untuk dibaca oleh kalian yang tidak begitu suka konflik.