Semilir angin menerpa wajah Asya. Beberapa kali Dewa merapikan rambut gadis itu yang menutupi wajahnya. Mesti suara tangisan itu tidak lagi terdengar, namun kesedihan mendalam masih terlihat diraut wajah Asya.
Gadis itu hanya terdiam penuh luka menatap tanah basah yang dihamburkan berbagai kembang. Sejenak ia menunduk sembari memejamkan matanya. Asya berusaha tegar saat ini, meski hatinya sedang teramat hancur. Perlahan Asya mengusap wajahnya, tetesan air mata itu beberapa kali turun membasahi.
"Yah. Maaf ya, kalo Asya selama ini banyak salah. Maaf juga, kalo Asya terlalu manja. Asya selalu bergantung sama Ayah, namun kali ini Asya harus kuat-" Asya menjeda sebentar ucapannya. Ia menghela nafas dengan berat.
"Asya harus kuat, Asya harus jagain bunda sekarang. Asya harus bisa lakuin semuanya sendiri sekarang. Aasya - hiks" Gadis itu sudah tidak sanggup lagi untuk berbicara. Ia kembali menangis sesenggukan.
"Ssttt. Udahh ya." Dewa mengelus pundak Asya dengan pelan.
Pemakaman ayah Asya sudah dilakukan. Tak lama setelah itu, beberapa pelayat mulai meninggalkan lokasi pemakaman. Sedangkan Asya dan bundanya masih setia duduk sembari menunduk di samping makam.
"Bunda," ucap Alesya pelan.
"Kita pulang ya, cuaca udah sangat terik. Nanti bunda sama Asya malah sakit." Seperti halnya dengan yang lain, Alesha juga sangat dekat dengan keluarga Asya. Apalagi dia adalah adiknya Dewa.
Ale dan ibunya membantu Bunda Asya untuk berdiri dan memapahnya menuju mobil. Sedangkan Asya bersama Dewa di mobil yang berbeda. Teman-teman mereka yang lain suduh diminta oleh Dewa untuk pulang lebih dulu, agar membantu untuk persiapan pengajian nanti malam.
Selama perjalanan pulang Asya hanya terdiam, memandang ke arah luar kaca mobil. Air matanya juga masih belum berhenti, namun tangisan itu tidak lagi terdengar.
Dewa sesekali melihat hal itu, merasa begitu sakit hatinya. Ia tidak tega dengan kondis Asya saat ini. Kedekatan Asya dan ayahnya memberi bekas yang sangat mendalam saat kehilangan secara mendadak seperti ini.
Dewa menghentikan mobil didepan sebuah minimarket. Ia akan membeli air untuk Asya. Saat turun dari mobil, Asya sama sekali tidak menyadari dan terusik, gadis itu masih setia termenung hingga Dewa kembali ke mobil.
"Sya"
"Sya" ucap Dewa untuk kedua kalinya, namun gadis itu masih belum sadar saat Dewa memanggil.
"Asya." Dewa pun menggenggam tangan Asya, dan hal itu membuat Asya tersadar dari lamunannya.
"Maaf! Kenapa kak?," ucap Asya sendu.
"Minum dulu." Dewa memberikan sebotol minuman kepada Asya yang sudah ia buka penutupnya. Asya meneguk dengan pelan, hingga separuh.
"Kamu mau langsung pulang?"
"Hmm" Asya mengangguk pelan.
"Asya mau tidur, Asya capek," ucapnya kembali.
"Tidur disini dulu, nanti sampe rumah aku bangunin." Dewa memposisikan tubuh Asya dengan nyaman, ia juga sedikit menurutkan kursi mobilnya. Tak lupa menyelimuti tubuh Asya dengan jaketnya yang ada di mobil.
"Udah nyaman?"
"Udah kak."
Cuppp Dewa memberi kecupan sayang, didahi Asya. Lalu mengelus pelan Surai gadis itu.
"Tidur ya"
Asya terlihat begitu lelah, sejak pagi hingga siang ini, ia hanya menangis. Dewa merasa kasihan akan gadis itu.
Drrrtt drrrtt
"Halo pa"
"Pa. Nggak bisa gitu dong!"
"Pa. Please! Ngertiin Dewa sekali ini aja!"
"Pa! Dewa nggak mungkin ninggalin Asya sekarang."
"OKE FINE!"
Dewa memutuskan secara sepihak telponnya. Ia memukul stir mobil karena kesal dan juga marah dengan ayahnya.
"What the fu*k. Gue nggak mungkin dengan bodoh pergi gitu aja," ucap Dewa, berbicara sendiri.
"Sya. Aku harap kamu bisa menjadi perempuan yang kuat. Aku akan selalu menjadi orang yang akan mencintai kamu. M-maaf aku harus pergi!"
Dewa kembali menghentikan mobilnya saat ia melihat mobil milik Gavin yang sudah menunggunya. Sebelum keluar dari mobil, Dewa menatap lekat wajah Asya. Ia kembali mengelus surai gadis itu dan mencium kening Asya cukup lama.
"M-maaff, aku harus pergi sekarang. Semoga tuhan masih memberikan kesempatan untuk kita bersama."
Setalah mengatakan hal itu Dewa pun turun dari mobil dengan perlahan, agar Asya tidak terbangun.
"Semua barang Lo udah siap," ucap Gavin
"Kenapa secepat itu Vin. Gimana dengan Asya!"
"Lebih cepat lebih baik Wa. Ini juga demi Asya, Lo percaya sama kita semua. Kita akan jagain Asya buat Lo."
"Udah sana, keburu Asya bangun."
"Gue pergi, titip Asya."
"Hmm. Handphone Lo sini, ganti yang ini. Sementara waktu Lo jangan hubungi Asya. Tapi gue atau yang lainnya bakal kasih kabar Asya ke lo."
"Harus banget gini ya?"
"Udahlah, nggak usah banyak bacot Wa. Pergi sana! Pesawat Lo harus terbang setengah jam lagi."
Dengan berat hati Dewa meninggalkan Asya. Ia menuju mobil yang disiapkan oleh Gavin lalu menuju ke bandara. Ia sama sekali tidak tahu jika barangnya pun sudah disiapkan.
Ia yakin semua ini memang sudah terencana dengan baik, jauh sebelum perdebatan dengan Ayah kemarin.
*Bandara
Beberapa saat yang lalu Dewa sudah sampai di Bandara. Ia sedang menunggu panggilan untuk masuk ke pesawat. Saat sampai tadi, ternyata kedua orang tuanya dan juga ibu Asya sudah ada disana begitupun adiknya.
Seperti yang dikatakan ayah Dewa, bahwa Alesha akan ikut bersama Dewa ke Singapura.
"Bunda! Maaf ya, Dewa harus pergi" ucapnya sembari memeluk orang tua Asya.
"Jangan minta maaf sama bunda, tapi sama Asya setelah kamu kembali nanti. Bunda berharap kamu nggak lama disana dan segera kembali. Bunda yakin Asya sangat sedih saat ini-"
"Ia harus berpisah dengan dua sosok laki-laki yang sangat dia sayangi dan cintai dalam waktu bersamaan. Ayahnya yang pergi dan tidak akan kembali, lalu kamu yang juga akan pergi namun tidak tahu kapan akan kembali hiks."
"Bundaaa. Ale janji, Ale dan kak Dewa akan menyelesaikan semuanya dengan cepat dan segera kembali ke Indonesia." Alesha juga memeluk orang tuanya sahabatnya itu dengan erat. Alesha juga tidak mampu menahan kesedihannya.
Ia juga harus berpisah dengan Asya dan teman-teman yang lain. Namun ini adalah jalan takdirnya.
"Udah. Pesawat sudah siap, kamu hati-hati disana. Jaga Alesha! Papa sama Mama akan menyusul dalam beberapa hari kedepan setelah melihat kondisi Asya," ucap ayah Dewa.
"Dewa sama Ale pamit ya Bunda."
Bunda Asya hanya bisa tersenyum lalu mengangguk lemah. Ia tidak bisa menahan kepergian Dewa dan Alesha sebab ini semua juga demi kebaikan Asya dan Dewa.
Meski setelah ini, ia tidak tahu bagaimana akan menghadapi Asya. Ia yakin anak semata wayangnya itu semakin rapuh.
.
.
.
.
.
Jujurly aku lagi kena writer block 😭
KAMU SEDANG MEMBACA
You and My Tulips
Teen FictionCerita yang ringan untuk dibaca oleh kalian yang tidak begitu suka konflik.