Suara tangisan itu sudah tidak lagi terdengar, Dewa melirik sedikit ke arah Asya dan terlihat harus itu sedang merenung. Ia mengusap telapak tangannya yang dingin ke wajah Asya untuk membuyarkan lamunannya.
"Kenapa?," ucap Asya lemah
"Kamu yang kenapa, siniin badannya." Dewa sedikit menarik tubuh Asya agar lebih rapat dengannya.
"Asya tadi mau marah sama Kak Dewa tapi nggak jadi," ucapnya kembali
"Marah aja, kamu berhak marah sama Kakak. Kakak udah bohong sama kamu kan?." Dewa akan menyebutkan kata "kakak" disaat keadaan yang menurutnya perlu. Asya akan lebih merasa tenang jika berbicara dengannya, dengan nada yang lebih lembut seperti ini.
"Gimana Asya mau marah kalo keadaan kakak seperti ini." Asya melihat ke arah kaki Dewa yang terlihat beberapa luka. Laki-laki itu sedikit menggulung celananya ke atas.
"Aku nggak apa-apa. Cuma luka sedikit."
"Hmm." Asya sudah tidak lagi bertenaga, ia menyenderkan kepalanya di dada bidang Dewa.
"Jangan marah lagi, aku nggak bisa ngadepin marahnya kamu. Jangan nangis juga, aku nggak sanggup jika melihat air mata kamu harus selalu jatuh karena aku." Dewa mengucap itu dengan tulus, meski ia tidak melihat secara langsung wajah Asya, namun ia tahu Asya mendengar semua itu dengan jelas.
"Iya. Asya mau tidur disini aja."
"Pindah ke sini, biar nggak sakit badannya."
Asya menuruti apa yang dikatakan Dewa. Ia merebahkan tubuhnya tepat disamping Dewa. Tak lama terdengar suara dengkuran halus dari Asya. Asya sebenarnya sangat lelah dengan hari ini. Sejak pagi rasanya tak ada jeda untuk tangisannya.
Dewa mengusap surai Asya dengan pelan. Ia tahu harus ini sedang tidak baik-baik saja. Ia tahu bahwa Asya sangat merindukan orang tuanya. Asya paling tidak bisa jauh dengan bundanya. Namun saat ini sudah begitu lama ia tidak bertemu dan saling bertukar kabar.
Bunda Asya sedang mengikuti kegiatan relawan di daerah terpencil. Terkendalanya signal membuat Asya kesulitan untuk bisa menghubungi bundanya.
Drrrrt drrrt
Suara dering hp milik Asya membuyarkan lamunannya Dewa dan mengehentikan aktivitas tangannya dikepala Asya.
Bunda is calling...
Dewa menerima panggilan dari bunda Asya. Ia yakin Bunda Asya sedang berada ditempat yang ada signal. Sehingga bisa menelpon Asya.
"Halo Bunda," ucap Dewa
"Dewa?"
"Iya bund."
"Kamu nginap di rumah?."
"Enggak bund. Dewa sama yang lain sedang di markas dan nginap disini."
"Hoalahh. Oke-oke Asya dimana Wa?."
Dewa melirik Asya sekilas, gadis itu sedang begitu terlelap sekali.
"Asya sudah tidur bunda. Mau Dewa bangunkan?."
"Ah tidak sudah jika memang sudah tidur, biarkan saja. Nanti dia akan susah untuk kembali tertidur."
"Baik bunda. Ada yang mau bunda sampaikan?."
"Sebenarnya bunda pengen ngomong sama Asya tapi nggak apa-apa deh, sama Dewa saja. Dewa, bunda titip Asya ya, bunda masih seminggu lagi disini. Keadaan disini masih membutuhkan tenaga medis. Bunda harap kamu bisa lebih sabar ya."
"Iya bunda. Tapi-"
"Iya bunda tahu. Mama udah ngehubungi bunda tadi. Semoga kamu pergi saat bunda udah kembali ya. Jangan tinggalin Asya dulu. Bunda juga mau yang terbaik untuk kamu."
"Iya bunda. Dewa khawatir jika seandainya Asya mengetahui semuanya bund."
"Semoga tidak. Bunda akan berusaha. Sudah dulu ya, kamu istirahat juga. Ini sudah sangat larut."
"Hmm. Iya bund, hati-hati disana."
"Iya Wa. Salam buat Asya ya." Setelah hal itu Bunda Asya memutuskan panggilan itu.
Dewa menghela nafasnya perlahan. Kepala begitu pusing saat ini memikirkan segalanya ditambah lagi sedikit benturan saat terjatuh tadi.
Setelah lama terdiam, Dewa mencoba mencari kotak P3K untuk mengobati luka di kaki nya. Sebisa mungkin ia menahan perih saat menyirami alkohol di luka itu.
Saat dirasa sudah bersih, ia menutupnya dengan perban agar tidak ada debu atau bakteri yang menempel.
Tokk tokk
"Masuk aja," ucap Dewa
"Gimana sama Asya?," ucap laki-laki itu dengan dingin
"Tuh." Tunjuk Dewa
"Gue mau ngomong, Lo bisa keluar kan?."
"Bantu gue berdiri dulu."
Keduanya keluar dari kamar itu dan meninggalkan Asya yang tertidur begitu lelap.
Dewa dan Gavin menuju lantai atas markas mereka. Biasanya lantai atas menjadi tempat untuk mereka rapat penting mengenai geng motor.
"Rokok?," ucap Gavin sembari memberi sebatang rokok pada Dewa dan hanya dibalas dengan gelengan kepala. Sebenarnya Gavin tahu Dewa akan menolak namun ini hanya basa basi saja.
"Jadi?," ucap Dewa memulai percakapan diantara keduanya.
"Kapan Lo mau berangkat ke Singapura?. Tadi Ale telepon bilang kalo dia juga harus ikut."
"Hah." Dewa kembali menghela nafasnya, setelah itu menjawab dengan tenang.
"Setelah bunda pulang. Gue nggak bisa ninggalin Asya sendiri disini dan pergi tanpa bilang apapun."
"Asya ngga sendiri bro! Disini semua ada untuk dia Ersa, Putri, Aya, gue, Kevin dan yang lainnya. Apa lagi yang membuat lo menunda kepergian Lo Wa."
"Gue udah janji sama bunda," ucap Dewa masih begitu tenang dan tanpa melihat lawan berbicaranya.
"LO UDAH LAMA NUNDA DEWA! HENTIKAN EGOIS LO!" ucap Gavin sembari menarik baju Dewa agar berbalik padanya. Gavin sudah tidak bisa menahan emosinya saat ini.
"LO BISA DIAM? GUE TAHU APA YANG MENJADI PRIORITAS GUE SAAT INI. BAHKAN MATI SEKALIPUN!"
Tak lama Kevin dan kedua temannya yang lain pun datang. Melihat perseteruan antara Dewa dan Gavin mereka pun segera meleraikan.
"STOP! Nggak gini cara kalian meyelesaikan masalah. Vin udah, gue tahu Lo cuma mau yang terbaik buat Dewa begitupun kita semua. Tapi kita juga nggak bisa maksa dia. Apalagi kita tahu bagaimana Asya dengan dia."
"Dan Lo Wa. Pliss ego Lo turunin dikit, pikir baik-baik apa akibat yang bakal terjadi kalo Lo selalu ngehindar seperti ini."
Semua yang ada disana hanya terdiam mendengarkan Kevin. Tak ada satupun bantahan karena memang semua yang dikatakan adalah hal benar.
Drrrtt drrrtt
"Halo Ya."
"Di atas."
"Oke."
"Asya nyariin Lo," ucap Kevin pada Dewa. Tanpa sepatah kata Dewa meninggalkan teman-temannya dan kembali ke kamar.
.
.
.
.
.
Ada yang bisa nebak nggak sih Dewa mau ngapain ke Singapura?Yukkk komennn
KAMU SEDANG MEMBACA
You and My Tulips
Novela JuvenilCerita yang ringan untuk dibaca oleh kalian yang tidak begitu suka konflik.