19. Butuh Komandan

10 2 0
                                    

Sebelumnya maaf, ini ada harsh wordnya jadi tolong membaca dengan bijak ya.

.
.
.
.
Semalam setelah pulang dari sasana Astorio berfikir dengan keras tentang siapa orang dewasa bertanggung jawab yang akan ia libatkan dalam masalah ini. Astorio dengar Ayah Nara itu seorang pemadam kebakaran, apa ia minta bantuan kepada beliau saja ya?

Setelah semalaman berfikir akhirnya sepulang sekolah Astorio berniat ke rumah Nara, bukannya minta bantuan ke anaknya tapi malah minta diantarkan oleh Aksa dan Sandeka. Padahal awalnya mereka menolak karena membahayakan nyawa orangtua Nara satu-satunya. Karena kedua kubu itu berselisih faham.

Kubu Aksa Janendra memilih tidak ikut campur dengan masalah apapun yang terjadi, sedangkan Kubu Rio Reiken memilih segera mencari titik terang permasalahan tersebut, meskipun harus sok ikut campur dan melibatkan orang luar sekolah. Bagaimana pun beliau juga wali salah satu siswa di sini, ia juga tidak asal-asalan menunjuk kan?

Daripada mereka terus berdebat, awalnya Aksa hanya akan menunjukkan rumahnya, tapi pikirannya berubah, ia ingin mendengar juga bagaimana respon Ayah Nara.

Alasan Astorio tidak meminta persetujuan Nara karena paksaan Reiken, katanya rencananya akan gagal karena pasti gadis itu tidak menyetujuinya, sedangkan mereka membutuhkan persetujuan Ayahnya, bukan putrinya. Biarkan saja mereka dikata egois, tapi ini juga demi keselamatan dan ketentraman mereka disekolah.

Dan untuk Astorio sebenarnya dia juga ketar-ketir takut Nara semakin jauh darinya karena hal ini, tapi dia tidak punya pilihan lain selain mengiyakan. Ia akan segera menyelesaikan hal ini dan memperbaiki hubungan keduanya, pikirnya.

Kita butuh komandan perang. -Reiken.

Aksa menitipkan Nara pada Amara, dia juga sudah mengirim pesan pada Ayah Nara bahwa ada tamu yang ingin bertemu langsung kepada beliau. Sebenarnya Aksa juga takut dengan Nara, apalagi kalau Janendra keras kepala itu tau, bisa langsung ditendang dia. Tapi, disini mereka saat ini, diruang tamu sang calon komandan.

Dengan sekat meja kayu, ketiganya tanpa basa basi langsung mengutarakan maksut dan tujuannya.

"Jadi gimana, Om?" Astorio menatap intens mata Ayah Nara dengan sorot tegas.

Melihat kegigihan pemuda itu, sebenarnya Ayah Nara sudah terkesan. Tapi, ini masalah berbahaya karena sudah masuk terror yang dapat melukai mereka.

"Kalian tidak usah ikut campur, biar masalah ini masing-masing pihak sekolah yang menyelesaikannya."

"Mereka itu gak mau masalah ini ke cium publik, makanya kasus ini tidak ditindak tegas, Om!"

"Ya udah, biar merek-"

"Mereka bahkan udah lukain Nara."

Ayah Nara terdiam. Sempat goyah karena mendengar nama putrinya.

"Aksa?" Ayah Nara menatap Aksa meminta penjelasan.

Aksa menghembuskan nafas panjang. "Maaf Om, Aksa lalai. Waktu Nara pulang kepalanya luka, itu adalah teror pertama kalinya. Om juga sempet mau bawa ke rumah sakit waktu itu." Jelasnya.

"Bagaimana dengan pihak sekolah?"

"Mereka memutuskan mencari jalan damai dan aman agar tidak didengar publik lalu mencoreng nama baik sekolah, juga karena pelaku masih pelajar seperti kami, jadi para murid dihimbau untuk waspada dan harus berperilaku baik. Tapi, siapa tau pelaku masih akan terus bertindak semaunya jika tidak ada tindakan tegas?"

"Saya akan berkoordinasi dengan pihak sekolah kalian. Kalian tunggu kabar baiknya saja."

"Tapi, Om-"

"Udahlah Yo, gausah dipaksa. Orang Om Bagas gak mau juga!" Sandeka gatal ingin ikut nimbrung, jadinya kalimat apapun deh, yang penting ia ikut beri suara.

ASTOROID Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang