22. Jejak Ayah

7 1 0
                                        

⚠️ Terdapat kata-kata kasar, bukan untuk ditiru

****

Zia semakin memperhatikan gerak-gerik Fiona. Gadis itu nampak agresif memberi perhatian pada Radit. Fiona terus tersenyum lebar mengawasi gerak gerik Radit saat bertanding, dia bahkan sangat khawatir saat Radit cedera ketika latihan.

Kaki Radit terkilir, cowok itu meringis kesakitan. Zia dan Fiona kompak turun dari tribun penonton, mereka langsung menghampiri Radit yang tengah ditangani kakak pembina. Di saat menuju detik-detik pertandingan seperti ini, yang menonton latihan semakin banyak, setidaknya dari teman-teman dekat para peserta yang akan bertanding. Mereka ramai-ramai memberikan dukungan.

Saat Zia dan Fiona sudah di bawah, Radit baru selesai mendapat penanganan, dia istirahat sambil selonjoran menahan rasa ngilu yang masih menggerogoti kaki kanannya. Tetapi sakit itu perlahan memudar, untung hanya terkilir kecil, dia merasa kurang fokus saat berlatih tadi hingga terjadi seperti ini.

"Radit, lo gakpapa?" tanya Zia dengan wajah khawatirnya.

"Gak parah kan, Dit?" tanya Fiona juga.

"Iya, udah mendingan," jawab Radit.

"Nih, minum dulu." Zia memberikan sebotol air mineral yang dia bawa.

Radit tak langsung menerimanya, Radit beralih menatap Fiona. "Gue mau minuman gue yang tadi aja," ujarnya.

Fiona mengangguk, dia langsung memberikan air mineral yang sisa setengah itu.

Hati Zia seketika tercabik, Radit mengabaikannya. Tangan Zia yang memegang botol itu serasa melemas hilang tenaga. Dia menatap Radit penuh kecewa.

Zia tak menyerah, dia mengeluarkan tisu dari dalam tasnya. "Pasti capek banget, ya," ucap Zia langsung hendak mengelap keringat di dahi Radit.

Cowok itu reflek mundur. Dia menatap Zia cukup lama, mereka membeku beberapa saat dengan tatapan saling bertaut.

"Gakpapa," ucap Radit menggeleng kecil, menolak Zia.

Zia terpekur, lagi-lagi Radit membuat hatinya tersayat. Dada Zia bergemuruh, rasanya dia ingin menangis saat itu juga kalau tak susah payah ditahan.

"Mending lo udahan aja latihannya, Dit. Pulihin kaki lo dulu, besok aja dilanjutnya," saran Fiona.

"Harusnya gue gak boleh cedera, gue ceroboh banget tadi," keluh Radit.

"Lo lagi mikirin sesuatu, ya? Kayaknya lo kurang fokus," respon Fiona.

Radit mengangguk. "Iya, entah kenapa gue tiba-tiba nge-blank."

Obrolan Fiona dan Radit berlanjut. Radit bicara normal dengan Fiona, sebagaimana Radit yang Zia kenal dulu, sedangkan pada Zia, Radit bersikap layaknya bongkahan es yang begitu dingin menusuk hingga ke tulang.

Lama-lama Zia merasa tersisih, ucapannya satupun tak ditanggapi Radit dengan serius.

"Gue ke toilet bentar, ya," ucap Zia karena tak tahan. Dia khawatir menitikkan air mata di depan Radit.

Saat di toilet, Zia benar-benar menumpahkan air matanya. Dia sesenggukan. Bahkan untuk mengatakan kalau dia ingin ditemani hari ini untuk mendaftar les pun lidahnya menjadi kelu. Zia merasa tersisih dan seolah tak dianggap ada. Fiona pun sama, Zia tak habis pikir bagaimana bisa Fiona tidak peka pada perasaannya?

Saat sudah lebih tenang, Zia menghapus air mata dan mengatur napasnya. Zia bertekad untuk mengutarakan keinginannya untuk ikut les itu, dia tak bisa terus membiarkan Fiona dan Radit semakin akrab menghabiskan waktu bersama tanpa dirinya.

Jangan Jatuh Cinta (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang