Bab tujuh

116 5 0
                                    

.
. 𝘚𝘌𝘓𝘈𝘔𝘈𝘛 𝘔𝘌𝘔𝘉𝘈𝘊𝘈💐
.
                          ••°••

Mata yang semula terpejam kini perlahan-lahan terbuka, rasa sentuhan lembut dikepala nya membuat si mungil terbangun.

Matanya menemukan pemandangan indah, dengan diseguhkan wajah tampan sang abang.

"Abang mengganggu mu tidur ya? Maaf ya..."

Vano menjawab dengan gelengan pelan, ia menghela nafas kemudian bangkit untuk duduk.

"Kamu baik-baik aja kan? Semalam kamu tidur dimana?"

"Di kamar, lo gak usah tau lebih lanjut." Bastian menatap kecewa Vano apa segitu benc1nya sang adik padanya?

"Hmm, ya udah kamu lanjut istirahat nya aja, abang ada kelas sore ini, mau siap-siap dulu."

Bastian berdiri dari duduk nya, sebelum pergi ia menyempatkan untuk mengelus kepala Vano dengan lembut, sebelum akhirnya benar-benar hilang di balik pintu.

.
.
.

Jam sudah menunjukkan pukul 03:30 yang artinya sebentar lagi akan jam 4.

Vano berulang kali menghela nafas panjang, ia merasa bosan seharian hanya duduk didalam kamar, ia juga merasa bingung dengan salah satu kakak pemilik tubuh nya yang belum ia lihat seharian ini, ia kira abangnya itu sedang pergi sekolah namun hingga jam menunjukkan jam 3 pemuda pemarah itu belum menunjukkan batang hidung nya.

Bastian yang 1 jam lalu berangkat kuliah dan ayahnya yang kembali ke kantor karena ada meeting penting, terlebih lagi penjagaan ketat diluar Mansion membuat nya tak bisa berkutik untuk keluar dari Mansion lagi.

Setelah cukup lama berpikir, ia kemudian memutuskan untuk berjalan-jalan ke luar, sekedar untuk menghafal jalan-jalan di lorong Mansion megah itu. Matanya tidak bisa berhenti untuk tidak kagum, sangat indah, selera Mahendra memang bagus.

Setelah lama berjalan ia melewati sebuah ruangan yang di mana pintu nya tidak tertutup rapat, terdapat celah di pintu itu, dengan rasa penasaran ia mendorong dengan perlahan sempat terkejut dengan hal didalam.

Ruangan itu adalah sebuah kamar, dan kamar itu milik Abel. Vano melihat Abel yang terbaring diatas kasur dengan selimut diseluruh tubuh nya.

Perlahan-lahan ia mendekat dan memeriksa suhu tubuh Abel dan benar dugaan nya, pemuda itu sedang sakit.

Dapat Vano lihat, tubuh Abel menggigil dengan nafas yang panas, ia mengambil kain yang ada di atas kening Abel, membasahi kain itu kembali meletakkan di kening Abel tak lupa juga untuk memeras nya terlebih dahulu.

"𝘈𝘩𝘩... 𝘉𝘶𝘯𝘥𝘢... "

"Kasihan... "

"𝘏𝘪𝘬𝘴... "

Vano terkejut tiba-tiba saja Abel menangis, ia di landa rasa panik hingga tangan nya dengan cepat mengelus pipi Abel dan menepuk lembut dada Abel berusaha untuk memenangkan sang empu.

"𝘉𝘶𝘯𝘥𝘢... 𝘒𝘢𝘯𝘨𝘦𝘯... "

Vano menghela nafas gusar memijit kening nya yang berdenyut, sepertinya abangnya ini sedang ngigau karena demam.

Tangannya di genggam oleh Abel saat itu juga mata Abel terbuka terlihat mata yang lelah, Abel berkedip beberapa kali kemudian tersenyum tipis.

Abel mengarahkan tangan Vano ke arah bibirnya kemudian mencium telapak tangan Vano, setelah cukup puas mencium nya ia kembali menempelkan nya ke pipi nya.

Vano tidak masalah dengan perlakuan Abel, hanya tangan kan itu tidak masalah baginya.

"Jangan pergi lagi... Gue takut... "

TRANSMIGRASI (GUE BUKAN VANO!) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang