BAB delapan

114 4 0
                                    

....... SELAMAT MEMBACA 💐
.

                    •••°•••

Vano mengobrak-abrik semua laci yang ada dikamar nya, saat ini ia sedang mencari benda pipih yang memiliki banyak informasi didalam nya.

Hingga ia akhirnya menemukan benda itu, namun sial nya benda itu memiliki sandi membuat Vano frustasi. Otaknya mulai berpikir keras memikirkan apa yang mungkin Vano asli gunakan untuk sandi ponsel nya.

Tanggal lahir. Vano memasukkan tanggal lahir nya dan kunci nya terbuka ia bernafas lega mulai mengotak atik ponsel itu, hingga ke aplikasi galeri.

Vano memutar bola matanya melihat isi dari galeri itu, hanya sebuah foto pemuda yang tidak ia kenal ia mulai bosan memainkan nya hingga notif dari ponsel itu berbunyi.

Pesan dari whatsapp membuat Vano beralih aplikasi, ia membaca nama yang tertera nama di sana '𝘾𝙖𝙣𝙙𝙧𝙖' dengan emot hati, Vano yang melihat malas pada layar ponsel itu.

'𝘔𝘶𝘳𝘢𝘩𝘢𝘯!'

Vano menautkan alis nya bingung dengan pesan terakhir yang tertera di ruang obrolan itu, ia memilih acuh namun ia tak sengaja membaca pesan yang di kirim Vano asli pada Candra, terdapat kata-kata yang membuat Vano geli sendiri.

Vano beralih melihat sebuah grup sekolahnya, membuat nya jadi ingin pergi ke sekolah. Itu keinginan nya dari dulu, pergi ke sekolah mendapatkan seorang teman dan juga belajar bersama itu semua adalah impian Vano dari kecil.

Vano melempar ponsel nya di atas kasur kemudian keluar dari kamar nya, ia ingin meminta Mahendra untuk membiarkan nya ke sekolah, mungkin besok ia akan mulai berangkat jika Mahendra mengizinkan.

Ia bertanya pada seorang penjaga di sana dimana keberadaan Mahendra dan juga ruang kerja beliau, hingga ia sampai di ruang yang di maksud.

Dengan perasaan tak sabar, Vano membuka pintu ruangan besar itu namun ia melihat sesuatu yang seharusnya tidak ia lihat. Tubuh nya mematung ditempat dengan tatapan tak percaya ia menggeleng pelan.

Siapa yang tidak terkejut melihat Mahendra memegang sebuah pisau begitupun dengan Bastian, sedangkan Abel yang tengah mengeluarkan darah dilantai.

Tidak kalah terkejut nya Mahendra dan juga Bastian, mereka berdua menjatuhkan pisau itu dengan wajah panik dan juga pucat.

"Vano, dengar ini tidak seperti yang kamu pikirkan,"

Vano terus mundur hingga ia terjatuh masih dengan mata yang menatap ke arah mereka, Mahendra dan juga Bastian melangkah mendekati Vano yang terlihat tidak baik-baik saja.

Tubuh Vano gemetar, nafas nya terasa tercekat, ia beralih menatap Abel yang terduduk sambil memegang tangan nya yang terus mengeluarkan darah.

Abel tersenyum tipis dengan gelengan pelan, seolah mengatakan jika ia tidak apa-apa.

"Nak, kamu baik-baik saja?!" Mahendra menyentuh bahu Vano sedikit menggoyang kan tubuh anak nya, takut dengan keadaan Vano.

"G-gak! J-jangan gue!"

Tubuh Vano tambah gemetar saat tangan besar itu menyentuh tubuh nya, ia terus memberontak berniat untuk kabur.

"Vano! Tenang lah!"

"GAK!! GUE GAK MAU DI SIKSA LAGI! GUE UDAH MUAK!"

Suara itu melengking di lorong mansion, diiringi suara Vano yang mulai menangis, dadanya naik-turun nafas Vano mulai tidak teratur hingga pandangan nya kabur dan tubuh nya yang hilang kesadaran.

.
.
.

Mata si mungil mulai terbuka, ia menatap kanan kiri mulai bangkit dari tidur nya. Rasa sakit di kepalanya membuat ia mengerang kesakitan, tiba-tiba Bastian dan juga Mahendra masuk berusaha menenangkan Vano namun bukannya tenang Vano malah berteriak dan mengusir keduanya dan memanggil nama Abel.

TRANSMIGRASI (GUE BUKAN VANO!) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang