04 : Mahira

933 103 14
                                    

"Nanti jam makan siang, kita ketemu di kantin rumah sakit ya?" Lintang mengangguk lalu balik badan. Segera Fajar meraih pergelangan tangannya, buat gerak tubuh Lintang praktis terjeda. Wanita itu kembali menatapnya dengan dahi berkerut heran. "Langsung pergi, hm?" Kerutan di dahi Lintang kian kentara. Sebagai gantianya—karena Lintang tidak juga peka, Fajar labuhkan kecupan singkat di kening istrinya.

Lintang terenyak dengan mata sedikit membeliak.

"Kenapa?" tanya Fajar, ganti ia yang mengerutkan dahi.

"Mmm ..." Lintang menggeleng, "enggak apa-apa."

"Sampai ketemu nanti," tukas Fajar.

Lintang mengangguk lagi. "I-iya."

"Ya udah, gih, duluan!" titah Fajar, mengedikkan dagu. "Saya lihatin dari sini."

Dengan agak salah tingkah, Lintang mengayunkan langkah mendahului Fajar, sedang Fajar terus mengawani punggung Lintang sampai benar-benar mengilang dari pandangan. Sejurus dengan itu, terdengar sebuah suara yang Fajar kenali suara Mahira, sepupu Maura. "Mas?" Fajar menengok dan mendapati wanita seumuran Lintang—yang tak lain adalah perawat di rumah sakit ini. "Kemaren aku ke sekolah Neil," ungkap Mahira, menyadarkan Fajar pada cerita Neil tadi pagi. "Bukan mau nyamperin Neil sih, anaknya Mbak Moana 'kan udah masuk TK. Dan kebetulan satu sekolah sama Neil."

Fajar manggut-manggut. "Jadi, yang dimaksud Neil itu kamu ya?"

"Mas Fajar pikir siapa? Maura?" tembak Mahira, disusul tawa sumbang.

"Anaknya Moana yang kedua bukan?" Fajar membelokkan topik.

"Yes," angguk Mahira. "Anyway, nanti aku mau ajak Mas Fajar makan siang," ujarnya kemudian. "Bisa, 'kan? Ada yang mau aku sampaikan."

Jam makan siang nanti Fajar sudah ada janji dengan Lintang, sementara para staff rumah sakit—terkhusus teman-temannya—tidak tahu kalau salah seorang psikolog klinis di Widjadja Hospital ini istrinya. Dan memang Lintang yang meminta agar status mereka disembunyikan. "Kenapa nggak di sini aja?"

"Mmm ... kurang bebas, Mas," ringis Mahira.

"Memangnya apa yang ingin kamu sampaikan?" tanya Fajar lagi. Jujur, dia bukan tipe laki-laki yang mudah berbaur—terlebih dengan lawan jenis. Bahkan ketika dulu tertarik dengan Maura saja, Fajar selalu jaga jarak, sampai wanita itu benar-benar menjadi miliknya dan bisa ia sentuh kapan saja. Pun Renjana Lintang Muntaz yang kini menggantikan posisi Maura.

Ck, bicara soal Lintang, Fajar kembali terbayang bentuk tubuh wanita itu.

Ia juga ingat ukuran dada istrinya yang pas di genggaman. Shit!

Eling, Jar! Eling! Ini jam kerja.

Tapi Fajar bersumpah akan mengulang rutinitas tadi pagi.

"Tentang Maura?" tebak Fajar setelahnya.

"Bukan," geleng Mahira tegas.

Memancing kernyitan di dahi Fajar. "Lalu?"

Lolos embusan napas panjang dari bibir Mahira sebelum wanita berusia 28 tahun itu mengikis jarak, kepalanya mendongak menatap manik mata Fajar dengan serius. "Aku ..." Terselip keraguan dalam suara serta sorot matanya. Fajar enggan menyela, ia biarkan wanita itu sibuk dengan kebimbangannya hingga kemudian Mahira melanjutkan. "Aku ..." Menggigit bibir bawah, "sebenernya udah dari lama aku suka sama Mas Fajar."

Kali ini Fajar tidak mampu menyembunyikan keterkejutannya.

*Tapi aku selalu nahan diri untuk nggak ngerebut Mas Fajar dari Maura. Padahal aku tahu gimana kelakuan Maura selama berhubungan sama Mas Fajar." Senyum kecutnya terukir tanpa komando. "Dan sekarang—setelah Mas Fajar pisah sama Maura, aku sengaja memberanikan diri untuk bilang ini. Aku mau kita jadi lebih dekat, Mas."

Slow BurnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang