"Nama kamu siapa?"
"Neil."
Ganendra—anak sulung Ochi—manggut-manggut.
Melihat itu, Lintang dan ketiga sahabatnya auto geleng-geleng. Diantara anak-anak mereka—kecuali Patin, cuma anaknya Ochi yang paling humble dan selalu berani memulai komunikasi.
"Mas Ganendra manggilnya Abang Neil ya? Karena Mas Ganendra lebih muda," ujar Ochi, mengingatkan Ganendra yang usianya satu tahun lebih muda dari Neil, disambut Ganendra dengan anggukkan. Lalu bocah berbadan gendut itu meminjamkan mobil-mobilan hingga robot-robotannya ke Neil dan Christian—anak Rasti yang seumuran Ganendra. Mereka duduk diatas karpet, diawasi para ibu yang duduk di sofa.
"Ini yang beliin Mama Erin," beritahu Ganendra, menunjukkan mobil remote.
Kening Neil berkerut bingung. "Mama Erin itu siapa?"
"Adiknya Bapak," jawab Ganendra. "Abang Neil mau pop ice?"
"Aku tidak boleh minum es sama Ayah," kata Neil.
"Tapi pop ice itu enak," timbrung Tian.
Disetujui Ganendra lewat anggukkan. "Sebentar. Mas Enda mau ambil pop ice dulu." Bangkit, diayunnya langkah menuju dapur.
Buat ibunya geleng-geleng kepala. "Anak gue ada aja gebrakkannya."
"Kayak emaknya enggak aja," sindir Patin, yang duduk di sebelah Lintang sambil memangku Genawa—bayi cantik berusia enam bulan, yang tak lain anak bungsu Ochi. Bayi itu mendongak menatapnya lalu tersenyum lebar. "Cantik banget, Chi, anak lo," puji Patin kemudian. "Tapi dua-duanya mirip Om Pras."
"Laki gue nggak setua itu ya!" sewot Ochi.
"Gue pikir yang demen orang tua cuma Ochi, ternyata Cik Lin juga," seloroh Rasti.
"Gue sama Mas Fajar cuma beda delapan tahun. Nggak jauh-jauh amat," sanggah Lintang.
"Tapi serius deh, Cik ...," Ochi menjeda kalimat, "... lo dalam keadaan sadar 'kan ya waktu akhirnya nerima bapaknya Neil?" Tatapannya berubah skeptis. "I mean, kita semua tahu lah gimana risihnya elo waktu si Japar Japar itu—"
"Mas Fajar," potong Lintang, mengoreksi.
Ochi memutar bola mata. "Fine, Mas Fajar," ralatnya. "Waktu si Mas Fajar Mas Fajar itu ngedeketin lo, lo selalu ngeluh. Lo bilang dia terlalu tua, kuno, dan kaku. Lo juga paling nggak suka kalau dia chat—nanyain lo lagi di mana dan sama siapa."
Lintang tidak akan lupa momen-momen itu. Dan ketiga sahabatnya lah saksi dari betapa risihnya ia yang kala itu baru patah hati—karena ditinggal nikah, lalu tiba-tiba muncul laki-laki bernama Fajar yang tak lain anak dari sahabat ibunya, yang berniat ingin meminangnya, tapi dengan catatan; ingin pendekatan dulu sementara Lintang saat itu sudah malas beradaptasi dengan orang baru. Ditambah Neil yang selalu menganggapnya musuh karena tidak suka ayahnya dekat-dekat dengan dia.
"Lo inget nggak sih, Cik, waktu lo nyuruh Patin angkat teleponnya Fajar, dan alesan kalau hape lo ketinggalan di kosannya Patin?" ingatkan Rasti.
Tentu saja Lintang ingat. Wanita itu mengangguk. "Please ya, tapi pas dia deketin gue, dia beneran kek stalker. Dimanapun gue berada, dia selalu tahu—sekalipun gue belum atau nggak ngasih tahu. Malah ..." Menggantung kalimat, ditatapnya Ochi, Rasti, dan Patin bergantian dengan sorot sangsi, "... gue agak curiga sama kalian, jujurly. Siapa tahu aja 'kan salah satu dari kalian itu informannya Mas Fajar."
"Sembarangan!" Tak terima, Rasti lempar bantal sofa di belakangnya ke arah Lintang hingga menghantam muka temannya itu.
Disambut gelak tawa Genawa yang mengira itu guyonan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Slow Burn
Roman d'amourMUNTAZ SERIES [2] - SLOW BURN WARNING ⚠️ MENGANDUNG ADEGAN 21+ Renjana Lintang Muntaz menerima lamaran Fajar Anthariksa Rahardja untuk membuktikan pada Langit Bumi Brahmantyo --mantan pacarnya-- kalau dia berhak bahagia. Tapi, ternyata hidup bersama...