06 : Call

2.3K 208 16
                                    

Mahira menunggunya di parkiran, sementara Lintang sudah pulang sejak sore tadi. Fajar menggersah lelah. Ia bukan sejenis pria yang digandrungi banyak perempuan. Meski dulu—sewaktu sekolah dan kuliah—ada yang terang-terangan menyukainya seperti Mahira, Fajar lebih memilih diam dan seolah tidak terjadi apa-apa. Tapi kali ini beda cerita. Ada hati yang harus Fajar jaga. Ia tidak ingin istrinya salah paham.

Ck, istri ya?

Apa hatinya mulai tersentuh dengan kehadiran Lintang?

"Mas Fajar," sapa Mahira, diiringi senyum hangat. "Aku mau nagih ajakkanku tadi."

"Bukannya saya udah nolak sebelum kamu bilang mau tunggu saya malam ini?"

"Mas—" Mahira mendekat, "—seberarti itu ya, Maura buat Mas Fajar? Even setelah Maura nyakitin Mas Fajar, Mas Fajar tetep jaga perasaan Maura. Why? Haven't you already separated? I mean, your marriage is over."

Tawa Fajar berderai geli, ia gelengkan kepala. "Kenapa kamu mikir begitu? Padahal saya nggak lagi jaga perasaan Maura," tandasnya, menghentikan tawa. Auranya berubah dingin.

"Terus, hati siapa yang Mas maksud?" desak Mahira.

Fajar menghela jarak seraya menunduk. Iris biji kopinya menatap tajam manik mata Mahira yang dengan terang-terangan balik menatapnya. Yang ia tahu, wanita ini adalah sosok yang ceria dan menyenangkan. Tapi entah kenapa, tiba-tiba hari ini ia menjumpai seorang Mahira yang agresif. "Hati istri saya."

"Istri?" ulang Mahira, membelalakkan mata tidak percaya.

"Betul," angguk Fajar. "Saya sudah menikah," ungkapnya.

"Kok, aku—sorry, I mean, keluarga kami nggak ada yang tahu soal ini?" ralat Mahira segera. Memancing kerutan di dahi Fajar. Bergegas Mahira meneruskan, "Biar bagaimanapun Neil tetap bagian dari kami, Mas, jadi kami perlu tahu, siapa yang akan menggantikan peran Maura."

"Kamu tahu 'kan, hubungan kami ditentang oleh pihak keluarga kalian?" singgung Fajar, mengungkit luka lama. "Bahkan dari Maura hamil sampai melahirkan Neil, nggak ada satupun dari kalian yang terketuk untuk melihat anak kami." Perih itu menguap lagi. Fajar mati-matian menahan diri untuk tidak melepaskan emosi. Dan sebagai gantinya, ia sunggingkan senyum guna menutupi duka. "But that's not a big problem. Neil is happy with me, my parents, and his stepmother now."

"Who is Neil's stepmother?"

"I already told you about privacy. Which means it's just me, Neil, and my family who know," tegas Fajar. "Jadi, tolong bersikaplah sewajarnya." Setelah itu, Fajar enyah dari hadapan Mahira. Melenggang menuju Rolls-Royce Phantom miliknya, lantas ia lajukan kendaraan roda empat itu menuju kediaman sang mertua, karena Lintang bilang, Neil masih ada di sana.

Dan selama perjalanan, Fajar tidak berhenti meloloskan napas gusar. Pernyataan Mahira, juga sikap agresif wanita itu, mulai mengusik ketenangannya. Lima tahun mengabdi di Widjadja Hospital dan kerap mendapat surat cinta atau sekadar salam dari perawat dan beberapa staff yang katanya menaruh hati padanya, Fajar tidak permah segusar hari ini.

Tapi begitu tahu bagaimana perasaan Mahira ...

Astaga!

Sesampainya di rumah Pondok Indah, Fajar disambut oleh gelak tawa Neil yang kini asyik bermain bersama Michelle—keponakan Lintang—dan Aksa—adik iparnya. Benar kata Lintang, Aksa itu bayi yang lagi nyamar jadi om-om. Lihat saja kelakuan absurdnya! Cowok berusia 19 tahun itu duduk diatas boneka anjing berukuran besar—yang di tiap sisinya dipasangi roda, lalu meminta kedua keponakannya—Neil dan Michelle—untuk mendorongnya.

Yang lucunya, si duo anak TK itu manut-manut saja.

Malah dengan riang gembira mendorong punggung Aksa sembari cekikikan.

Slow Burn [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang