08 : Unexpected Meeting

798 91 11
                                    





Fajar bangun lebih dulu dan mendapati Lintang masih terlelap dalam dekapannya. Bibir lelaki berusia 36 tersungging pelan—memperlihatkan senyum manis. Tidak salah ia memilih wanita ini untuk menjadi istrinya. Wanita yang diam-diam ia sematkan di dalam doanya selama empat tahun terakhir.

Tangan Fajar bergerak, menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah Lintang. Cantik. Tapi bukan itu alasan ia menikahi Renjana Lintang Muntaz. Sebab ia sendiri juga tidak tahu, kenapa harus Lintang? Tapi yang jelas, keputusannya bukan hal yang salah—that is what he feels.

Tak lama Lintang membuka kelopak mata. Mengerjap sejenak sampai akhirnya terbuka. Lintang mendongak, disambut Fajar dengan senyum hangat. "Selamat pagi, Lin," sapa Fajar.

"Pagi, Mas," balas Lintang, menyingkirkan diri dari dekapan Fajar.

"Mau mandi?" tebak Fajar ketika Lintang celingak-celinguk mencari daster.

"Daster aku mana ya, Mas?" tanya Lintang, mengabaikan tebakan Fajar.

Fajar menghela napas. "Kenapa harus nyari daster kalau mau mandi?" baliknya. Ia kadang heran dengan pikiran absurd istrinya ini. "Ayo, sini saya gendong!" Tanpa menunggu persetujuan Lintang, Fajar langsung menggendongnya untuk dibawa ke kamar mandi. Tentu saja Lintang kaget dan nyaris menonjok muka Fajar. Untung Fajar lekas mengalihkan perhatiannya dengan kedipan mata.

"Mas, bisa nggak sih, jangan ngagetin?" gerutu Lintang.

"Maaf," gumam Fajar lalu mencuri kecupan singkat di bibir Lintang.

Dan setibanya di kamar mandi, mereka melakukannya lagi.

Fajar rasa ia sudah gila. Tapi ... ini nikmat. Shit!

"Ayah!" seru Neil, menggedor pintu kamar.

Terdengar hingga kamar mandi yang lantas disahuti Fajar. "Iya, Abang." Gerakkan tangannya pada payudara Lintang terhenti sejenak.

"Ayah!" tiru Michelle.

"Iya, Michi?" sahut Fajar lagi.

"Abang sama Michi mau sarapan. Ayah, kenapa lama banget sih boboknya?!" sungut Neil.

Ditirukan lagi oleh Michelle. "Ayah, kenapa lama banget sih boboknya?!"

"Michi ikut-ikutan terus deh!" decak Neil.

Bukannya merasa bersalah, Michelle justru cekikikan.

Buat Fajar yang mendengar cuma bisa geleng-geleng kepala. "Abang sama Michi sarapan duluan ya? Nanti Ayah sama Mama nyusul!" ujar Fajar kemudian, netra biji kopinya disulihkan ke Lintang yang berada di hadapannya begitu Neil dan Michelle berlari menjauh. "Lanjut lagi ya?"

"Mas Fajar emang seproduktif ini ya?" sindir Lintang.

"Cuma sama kamu kok," timpal Fajar lalu meneruskan aktivitas yang terjeda.

Setelah menyelesaikan ritual mandi yang dibarengi dengan adegan panas, Fajar dan Lintang melenggang menuju meja makan dan mendapati Neil juga Michelle tengah sarapan di sana. Dua bocah TK itu menikmati nasi goreng sambil mengoceh ngalor-ngidul yang cuma mereka saja yang paham selagi Fajar beranjak duduk di sebelah Neil, sementara Lintang di samping Michelle.

Dalam diam Fajar membayangkan, mungkin begini potret keluarga kecilnya jika kelak ia dan Lintang dikaruniai anak kembar. Dan yang pasti Neil akan dipanggil Abang—seperti panggilannya sekarang. Well, panggilan itu bukan dari Fajar atau orang terdekat Neil, tapi dari bocahnya sendiri.

Slow BurnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang