01 : Jealous

1.3K 136 6
                                    

Lintang hendak pulang dan berpapasan dengan Fajar-yang juga bertugas di rumah sakit yang sama dengannya, tapi dokter spesialis penyakit dalam itu melengos, melewatinya begitu saja. Lintang memutar bola mata. I don't care, because he's not an important person. Wanita berusia 28 tahun itu melangkahkan kakinya keluar gedung Widjaja Hospital sembari memesan taksi online. Namun, kemunculan Rolls-Royce Phantom milik Fajar Antariksa Rahardja yang tempo hari resmi menjadi suaminya, membuat gerak kakinya kontan terhenti. Dahinya berkerut saat kaca mobil diturunkan. Tanpa menoleh, Fajar yang duduk dibalik kemudi memerintah, "Masuk!"

"Mas kalau mau pulang, duluan aja. Aku-"

"Kalau saya bilang masuk, masuk!" potong Fajar, yang akhirnya menoleh. Tatapannya sedingin es. "Perlu saya bukain?"

Lintang tidak menjawab, ia indahkan perintah sang suami. Dan selama perjalanan, tidak ada interaksi apa pun antara ia dan Fajar. Hingga Rolls-Royce Phantom yang mereka tumpangi tiba di kediaman Fajar-yang sekarang menjadi tempat tinggalnya juga, begitu turun, keduanya disambut oleh sosok anak laki-laki berbadan gendut yang duduk di undakan teras. Neil langsung bangkit, memperlihatkan cengiran. "Yeayy! Ayah pulang!"

Selalu.

Tidak pernah ada sambutan untuk Lintang.

Ia seperti orang asing di rumah ini.

Neil belum mau menerimanya sebagai ibu, meski bocah TK itu sangat akrab dengan Michelle dan keluarganya. Bagi Neil, Mama Lintang itu seperti ancaman. Karena kehadiran Mama, Neil yang biasanya tidur sama Ayah, harus tidur di kamar lain. Tapi, Lintang tidak bisa menyalahkan Neil tanpa alasan. Ia paham bagaimana perasaan Neil. Dan sama seperti dirinya yang tiba-tiba menjadi istri sekaligus ibu, Neil yang terbiasa hidup berdua dengan ayahnya, tentu butuh waktu untuk beradaptasi dengan ibu sambungnya.

"Kok, di luar?" Fajar berjongkok di hadapan sang putra.

"Neil tunggu Ayah," ujar Neil.

Sudut mata Fajar melirik Lintang yang berdiri di sebelahnya, lalu kembali menatap Neil. "Tunggu Ayah dan Mama?" koreksinya.

Neil menggeleng. "Neil tunggu Ayah."

"Kenapa Mama nggak ditungguin?" pancing Fajar, direspons Neil dengan gelengan-lagi. "Harus adil dong. Kalau Neil tunggu Ayah, berarti Neil tunggu Mama juga. Kan orang tua Neil sekarang ada dua; Ayah dan Mama. Neil sayang Ayah?" pancing Fajar.

"Sayang sekali!" jawab Neil, mantap.

"Kalau sama Mama?" pancing Fajar lagi.

Neil mendongak menatap Lintang.

Jujur, Lintang sendiri juga tidak tahu, kenapa Fajar menanyakan hal ini pada Neil. Dan Lintang tidak berharap Neil akan memberi jawaban yang sama, walau gelengan Neil setelahnya tetap saja membuat hati Lintang patah, namun suara Fajar kembali menghiburnya. "Kenapa sayang Ayah, tapi nggak sayang Mama?"

"Ayah sayang Mama?" balik si bocah.

Deg.

Atmosfer di sekitar mendadak panas dan canggung. Fajar melirik Lintang sekali lagi, kemudian menatap sang putra dengan senyum tipis seraya mengulang pertanyaan. "Neil sayang nggak sama Mama?" Ganti Neil yang menatap Lintang lalu ibu jari dan jari telunjuknya hampir bersentuhan-seolah menakar rasa sayang di hatinya.

"Sayang, tapi dikit," kata Neil.

"Kalau gitu sama," timpal Fajar, membuat Lintang kontan terenyak. "Ayah juga sayang Mama."

"Sayangnya dikit?" tanya Neil.

"Lumayan," sanggah Fajar, dibalas Neil dengan tawa renyah.

"Neil sayang Mama banyak-banyak," ralat Neil kemudian.

Slow BurnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang