07 : Not Wrong [21+]

1K 83 11
                                    

WARNING!

This chapter contains adult scenes. If you are uncomfortable with or do not enjoy adult content, please skip this chapter.




***







Beberapa kali dikenalkan dengan anak dari kenalan atau teman ibunya, Lintang selalu menolak dengan beragam alibi. Sebab ia pikir, ia butuh waktu untuk menata hati setelah dipatahkan begitu saja oleh sulung Brahmantyo. Apalagi hubungan Lintang dan Langit dulu tidak sebentar. Banyak mimpi yang mereka rangkai, serta harap yang mereka rajut—yang Lintang yakini akan terwujud. Tapi ternyata ...

Langit mengkhianatinya.

Lalu, meninggalkannya.

Lintang sendiri, terjebak luka.

Sempat terbesit dalam benaknya untuk tidak dekat dengan laki-laki—setidaknya saat itu, karena ia takut salah pilih. Terlepas itu, ia malas memulai dan beradaptasi lagi. Tapi kemudian takdir mendatangkan Fajar dan Neil—anaknya. Dan Lintang awalnya enggan peduli. Ia bahkan selalu mengeluh setiap kali Fajar mencoba menghubunginya untuk bertemu sebentar. Lintang juga sering menghindar setiap kali Fajar datang ke rumah untuk sekadar melihat keadaannya.

Fajar Anthariksa Rahardja adalah tipe laki-laki idaman, kalau saja Lintang tidak sedang dalam kondisi patah hati. Well, sama seperti Fajar yang sulit jatuh cinta—namun pengecualian jika Lintang lawannya. Hal itu juga yang barangkali terjadi pada Lintang.

Sejak adegan panas tadi pagi, entah kenapa bayang-bayang Fajar terus menari-nari di pelupuk. Shit! Lintang menggelengkan kepala, mencoba menepis adegan tadi pagi—apalagi orang yang tengah ia pikirkan baru saja muncul dari balik pintu kamar dan tersenyum tipis. Lintang langsung mengubah posisi membelakangi Fajar yang berjalan menuju ranjang.

Mendadak ingatannya terlempar pada kalimat Fajar tadi.

Ada yang lebih penting di rumah kita?

Apa maksudnya?

Lintang memejam ketika merasakan pergerakkan di sisinya, tapi pelukan di pinggang membuat kelopak matanya refleks terbuka. Di bagian lengannya seperti tertimpa beban dan pada saat ekor matanya melirik ke samping, senyuman Fajar berhasil meruntuhkan kewarasan. Lelaki itu melingkarkan tangan ke tubuhnya, lalu telapak tangan itu mendarat di bagian dada Lintang. Meski bukan pertama kalinya, tapi tetap saja Lintang kaget. "Mas?"

"Besok kamu libur?" Fajar memulai percakapan selagi telapak tangannya meremas dada Lintang.

Wanita itu mengangguk lantas balik badan—berhadapan dengan Fajar—dan otomatis telapak tangan yang bertengger di dadanya tersingkirkan. Lintang nyaris menghela napas lega sebelum Fajar kembali menyentuh dadanya untuk diremas. Mata mereka bertemu satu sama lain. "Besok aku izin ajak Neil ke rumah Ochi ya?"

"Jauh nggak?" tanya Fajar lagi.

"Enggak kok," jawab Lintang, menggeleng.

"Tapi ditemenin sopir ya?" bujuk Fajar.

"Oke," angguk Lintang, kemudian memanggil Fajar. "Mas."

"Hm?" sahut Fajar, lembut. Tangannya beralih menerobos daster Lintang, meremas dada wanita itu dari dalam. Memancing ringisan kecil Lintang karena geli. Melihat itu, Fajar malah mencuri kecupan singkat di bibirnya, buat Lintang terkejut. "Kenapa sih? Kita sudah sah jadi suami-istri."

Slow BurnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang