05 : Promise

662 92 15
                                    

"Merah banget muka lo," singgung Patin—sahabatnya sejak SMA yang tak lain adalah apoteker di Widjadja Hospital. Membuat Lintang yang melangkah di sebelahnya kontan tersipu malu. Patin menyenggol lengan Lintang dengan lengannya, lalu wanita berhijab putih itu memiringkan kepala guna melihat ekspresi Lintang lebih jelas. "Aura lo beda banget sama kemaren-kemaren."

"Maksud lo?" Menghilangkan rona bahagia di wajah, istri dari Fajar itu mengernyitkan dahi.

"Lo ... kelihatan lebih fresh," timpal Patin, lalu celingak-celinguk sebentar. Dan setelah dirasa aman, ia kikis jarak untuk berbisik, "Abis diapain sama Pak Dokter?"

Lintang mendelik. Yang tahu soal pernikahannya cuma Patin—setidaknya orang-orang di rumah sakit ini. "Apa sih!" Putri kedua Harry Muntaz itu ngeles. "Gue nggak diapa-apain kok—eh?" Merasa keceplosan. "Ish, enggak!" gelengnya, tegas. "Mmm ... lo makan bareng Pak Nizam gih! Gue ada janji sama laki gue."

"Ceileh!" Patin langsung heboh, disenggolnya lengan Lintang dengan lengannya—lagi. Wanita itu menaik-turunkan kedua alisnya dengan gurat jenaka. "Sekarang aje nyebutnya laki gue," sindirnya, iseng. "Pas beberapa bulan lalu—waktu dilamar Pak Dokter, lo panggil dia Japar."

"Nggak usah diingetin!" sungut Lintang.

Patin cengengesan. "Tapi beneran deh, Lin ... gue kira laki yang mau dijodohin ama elu udah berumur, nggak tahunya dokter ganteng idola ciwik-ciwik. Mana Mahira ngebet banget ama laki lo lagi." Lintang mendengkus mengingat bagaimana Mahira mengagumi Fajar, bahkan wanita seumurannya itu lebih semangat kalau bahas Fajar ketimbang yang lain.

Dan seingat Lintang, Mahira ini sepupu Maura.

Mantan istri suaminya.

Ibunya Neil.

"Ya udah gih sana, pasti laki lo udah nunggu," tukas Patin.

Setelahnya, Lintang melebarkan langkah menuju kantin rumah sakit. Dijumpainya Fajar di salah satu bangku. Di tangan suaminya, tergenggam ponsel dengan logo gigitan apel. Lelaki itu sibuk dengan benda pipih tersebut. Lintang segera mendekat lalu duduk di hadapan Fajar.

Menyadari kehadirannya, Fajar mengalihkan fokus. Ia dorong sekotak bekal di atas meja. "Makan gih!"

"Nanti," tolak Lintang. "Mas mau pesen makan? Ini bekalnya biar aku simpen dulu."

"Kalau kamu keberatan, kamu bisa minta tolong Bu Dar bungkusin, terus kasih ke siapa gitu. Jangan maksain apa yang nggak kamu suka," pesan Fajar. Sejujurnya Lintang masih bimbang—antara hatinya sudah terbuka untuk sang suami atau karena alasan lain yang belum ia pahami apa maksudnya. Tetapi sikap Fajar hari ini benar-benar membuatnya dilema—terlebih setiap kali ia mengingat adegan tadi pagi.

Astaga..

"Mahira bilang apa ke Mas Fajar?" tanya Lintang. Mendadak ia penasaran.

"Dia bilang suka ke saya," aku Fajar terang-terangan. Dan sekalipun sudah tahu, Lintang tetap saja kaget. "Ntar malem dia ngajak saya ketemuan, karena katanya ada yang ingin dia sampaikan." Ekspresi Lintang berubah masam. Disadari Fajar yang kontan meloloskan decakan. "Saya nggak bakal mau, Lin. Toh, ada yang lebih penting di rumah kita."

"Ha?" Lintang gagal paham.

"Sudah sana pesan makan!" titah Fajar, "Saya minumnya teh hangat aja, gulanya dikit." Lintang mengangguk seraya bangkit. "Kamu jangan minum es," peringat Fajar kemudian, membuat Lintang tercengang sejenak, tapi lima detik selanjutnya muncul seulas senyum di bibir.

Lintang tidak pernah kekurangan kasih sayang. Ia diciptakan dengan begitu manisnya oleh Tuhan. Diberi keluarga bahagia, orang tua luar biasa, dan kakak-adik yang penuh cinta. Kehidupan Lintang adalah apa yang anak perempuan diluar sana impikan, ditambah dia cukup dekat dengan Papi. Meski sempat dikhianati laki-laki, tapi dia percaya ada laki-laki lain setipe Papi yang belum ia temui keberadaannya. Dan sekarang laki-laki itu telah ia gapai.

Laki-laki itu bernama Fajar Anthariksa Rahardja.

Usai memesan makan, Lintang kembali ke meja—dan menunggu.

"Jangan mainan hape dulu," tegur Fajar saat Lintang hendak memainkan ponsel.

Wanita itu langsung meletakkan ponselnya ke atas meja. Tatapannya lurus ke depan—bersirobok dengan netra biji kopi milik Fajar. "Terus, Mas udah nolak ajakan Mahira?" singgungnya, kembali membicarakan Mahira. Fajar menggeleng. "Why?"

"Tadinya dia ngajak saya makan siang, tapi saya tolak. Saya bilang ada hati yang harus saya jaga," papar Fajar, menimbulkan rona merah di kedua pipi Lintang. Ada hati yang saya jaga. Apa itu hatinya? "Kalau kamu tanya hati siapa—" Fajar meneruskan, menyadarkan Lintang dari salah tingkah-nya "—ya," lelaki itu mengangguk, "hati kamu yang saya maksud."

Shit!

Lintang makin salting.

"Saya pikir dengan penolakan itu, Mahira bakal nyerah. Nggak tahunya dia malah ngajak saya dinner." Mood Lintang mendadak hancur mendengar kalimat lanjutan Fajar—apalagi waktu suaminya bilang, "kamu tahu 'kan apa alasan saya menerima perjodohan ini?" Lintang mengangguk ragu, "I don’t want to repeat my mistakes. After failing to keep Maura, I want to make you feel comfortable in my palace so that Neil doesn't lose a mother figure again."

"It means I’m a guest who has been invited and intentionally made to feel comfortable, hm?" balas Lintang, tersenyum kecut. "Padahal aku nerima perjodohan ini, because I think Mami's choice is the best decision for my future." Jeda, napasnya dihela berat. "Kadang aku nggak setuju sama pendapat orang tuaku, tapi di lain sisi, semisal nggak sekarang aku nyenengin hati mereka, kapan lagi? Karena semakin dewasa aku makin sadar kalau saingan terberatku bukan teman-teman atau lingkungan, tapi umur orang tuaku."

Fajar mengangguk setuju. "Lin," gumamnya, meraih telapak tangan Lintang, dan ia isi sela-sela jemari wanita itu. "Maksud saya nggak begitu." Lintang menaikkan satu alis dengan raut seolah tidak paham. "Memang benar 'kan kamu orang baru?" tanyanya tanpa mengharap jawaban. "Tapi bukan berarti kamu tamu."

Tampak kerutan di kening Lintang.

Selagi Fajar melanjutkan, "Saya menempatkan kamu di posisi nyaman bukan karena kamu sedang dibutuhkan, tapi supaya kamu nggak merasa dijadikan pelarian." Rehat, diselaminya bola mata Lintang lekat-lekat. "Soal Maura ... dia cuma masa lalu. Dan kamu masa depan saya. Jadi kalau kamu tanya; kenapa saya menempatkan kamu di tempat ternyaman, ya karena saya nggak mau mengulang kesalahan. Saya nggak bisa bilang saya jatuh cinta sama kamu—setidaknya untuk sekarang, karena mustahil orang dewasa yang baru saja patah hati langsung bisa jatuh hati."

Kali ini Lintang sependapat.

"Saya harap kamu nggak salah paham lagi," tambah Fajar. "Dan untuk membuka hati, saya butuh keterbiasaan. Saya mau, kita runtuhkan tembok diantara kita."

"Tapi, gimana kalau tiba-tiba Mas Fajar jatuh cinta sama perempuan lain, atau malah ... balikan sama ibunya Neil?" Bukan perempuan namanya kalau nggak nyari-nyari luka. Dan Lintang sedang menunjukkan perannya sebagai wanita yang begitu akrab dengan overthinking.

"Kalau kamu ikhlas, berarti kita selesai. Tapi semisal sebaliknya, ya saya tetap ada di sini," balas Fajar, tenang. "Lagi pula, nggak segampang itu bikin saya jatuh cinta." Menatap manik mata Lintang. "Tapi kayaknya pengecualian buat kamu."

Deg.

Perempuan mana yang nggak salting brutal?

Perempuan mana yang nggak melting dibilang begitu?

Astaga..

Mati-matian Lintang menetralisir degup yang menggila, tapi genggamam Fajar justru membuatnya semakin gila. Lelaki itu mengulum senyum. "Tunjukkin ke saya, gimana cara nerobos hati kamu," pintanya. "Saya mau nyingkirin Langit dari sana. Dan sembari saya berjuang, saya bakal ajari kamu, gimana cara bikin saya luluh."

"Janji, Mas?" tuntut Lintang.

"Ya, saya janji."








//

Next chapter ada adegan hot.

Enaknya publish di Wattpad atau KaryaKarsa?

Slow BurnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang