"Dan saya takutnya, kalau Fajar tahu Khatryn ibu kandungnya—"
"Apa?!"
Semua mata teralih pada Fajar. Raut kaget tergambar jelas di wajah mereka—Ibu, Bapak, Bunda, dan Ayah. Tapi tak lama tingkah polah Neil langsung memudarkan tegang di ruang tamu. "Ayah, tadi Abang makan gacoan sama Ibu," lapornya. Well, Ibu adalah panggilan Neil untuk Bunda. "Tapi gacoannya sudah habis, Ayah. Abang minta maaf ya, Ayah?"
"It's okay," angguk Fajar, mengusap puncak kepala si kecil.
"Abang," panggil Lintang, tubuhnya sedikit membungkuk. Ia sodorkan plastik di tangan. "Ayo, kita pindahin martabaknya ke piring!" ajaknya.
Neil mengangguk semangat. "Ayo, Mama!"
Tubuh Lintang kembali tegak. Fajar tahu, istrinya sengaja menarik perhatian Neil agar ia bisa bicara dengan keempat orang tuanya tanpa gangguan si kecil. Dan ketika tatapannya bertemu dengan iris bening Lintang, senyum tersungging tipis. "Terima kasih, Lin," ucapnya, direspons Lintang lewat anggukkan sebelum wanita cantik itu menggiring Neil ke dapur.
Setelahnya, Fajar berderap menuju ruang tamu, lalu beranjak duduk di sofa single. Ditatapnya orang-orang di sekeliling dengan pandangan menelisik. "Can you all explain that to me?" tanyanya dengan suara rendah, "And what is your status, actually?"
Jeda cukup lama. Mereka justru saling lempar pandang dan Fajar bisa menangkap gurat cemas di wajah Bapak, sorot resah di sepasang mata Ayah dan Bunda, juga ekspresi datar Ibu. Wait. Fajar mengernyit. Why did Ibu show that kind of expression?
"What did you hear, Mas Fajar? Besides about real our status," balik Selvi, tenang.
"I heard about Ibu Khatryn ... who turns out to be my biological mother. Hm? Is that true?" Satu alisnya terangkat—masih enggan percaya.
"Yes, it is. What do you think about us now?"
"Nothing," geleng Fajar lalu bangkit dan memilih enyah. Kakinya diayun menuju kamar. Dan ketika melewati dapur, ia melihat Lintang tengah berinteraksi dengan Neil. Suaranya renyah sekali. Fajar menghentikan langkah di depan dapur, memperhatikan keduanya dalam diam.
"Tadi di sekolah Abang dapat bintang berapa?" tanya Lintang.
"Empat," jawab Neil, lesu. "Seharusnya lima. Tapi yang satu, Abang kasih ke Cherry. Tadi Cherry dapet tiga, makanya dia sedih." Lolos kekehan geli dari bibir Lintang. Wanita itu masih memindahkan martabak ke piring selagi Neil bertanya, "Mama, adeknya Abang lahirnya kapan? Abang mau punya adek, seperti Michi."
Deg.
Fajar terkesiap—ekspresi yang sama juga diperlihatkan Lintang. Adik?
"Tapi adeknya perempuan saja ya, Ma?" lanjut Neil.
Lepas dehaman dari bibir Lintang. "Nanti ya, kalau Mama sudah dipercaya Tuhan untuk kasih Abang adik," balasnya lembut. "Emang nanti kalau adiknya perempuan, mau diajak main apa sama Abang?"
"Nanti kalau adiknya perempuan mau Abang belikan jepit rambut, Ma," kata Neil.
Lintang manggut-manggut. Aktivitas memindahkan martabak ke piring telah berakhir. Ia tatap mata bulat si kecil dengan serius. "Terus nanti yang kucir rambutnya Adek siapa? Mama, Ayah, atau Abang?"
"Mama dong! Abang nggak bisa. Ayah pasti juga nggak bisa," kata Neil.
Memancing tawa Lintang. "Siapa bilang Ayah nggak bisa? Kan Abang belum tanya ke Ayah."
Neil berdecak—sok paling paham. "Ayah itu bisanya suntik-suntik, jadi nanti adeknya nggak boleh sama Ayah. Adeknya sama Mama sama Abang saja." Lintang makin tergelak. Neil ikut-ikutan. Diperhatikan Fajar dalam diam, bibirnya menukikkan senyuman.
"Tapi nanti kalau adeknya pengin sama Ayah, gimana?" Lintang membantu Neil turun dari kursi.
"Nanti Abang bilang ke Adek; jangan, Adek, karena Ayah suka suntik-suntik," ujar Neil.
Disambut gelak tawa Lintang—lagi. "Oh gitu?"
"Iya," timpal Neil, mengangguk.
"Ya udah, yuk, martabaknya kita bawa keluar!" ajak Lintang.
"Ayok, Ma!" Kembali Neil mengangguk.
Dan seketika keduanya terlonjak kaget, menemukan Fajar berdiri di depan dapur. Fajar tersenyum, menatap Lintang yang memutar bola mata. "Mas Fajar ngagetin aja!" sungutnya.
Ditirukan Neil. "Iya, Ayah ngagetin saja!"
Perhatian Fajar tersulih pada Neil, ia ulurkan tangan—mengacak surai hitam anaknya dengan gemas, lalu balik ke manik mata sang istri. Meski menunjukkan raut kesal, entah kenapa Lintang tetap terlihat cantik di matanya. Fajar menghela napas. "Saya langsung ke kamar ya? Tiba-tiba saya nggak enak badan."
"Hm?" Tangan Lintang yang nganggur kontan terulur—menyentuh kening Fajar, kemudian mengernyit heran. "Normal kok, Mas," gumamnya, menarik tangan dari kening Fajar. "Atau ... Mas Fajar kecapekan? Mau aku siapin makan?" Fajar mengangguk. "Ya sudah, nanti aku antar ke kamar ya?"
"Makasih, Sayang," tukas Fajar lalu siuh, meneruskan langkah menuju kamar.
Hari yang sangat melelahkan, bahkan tugasnya di rumah sakit nggak ada apa-apanya dibanding sederet fakta yang ia dengar barusan. Apa maksud dari status kita dan pernyataan Ayah tadi? Fajar benar-benar dibuat bingung sekaligus kecewa. Lelaki itu menjatuhkan diri—duduk di tepi ranjang. Ia lepas sepatu dan jas dokternya, kemudian ia rogoh saku celana—mengeluarkan ponsel. Fokusnya terpecah belah. Pesan yang masuk, ia abaikan begitu saja. Suara orang-orang di ruang tamu tadi, wajah Maura, dan segala hal yang terjadi hari ini, berhasil membuatnya overthinking.
Ia pikir hidupnya sudah jauh lebih baik.
Dengan ia melupakan Maura dan menikahi Lintang, ia kira ia bisa melanjutkan hidup dengan tenang.
Dengan hubungan keempat orang tuanya yang terlihat hangat dan harmonis, ia pikir itu cara mereka menjalin silaturahim. Tapi ternyata ada rahasia besar dibaliknya. Yang berhubungan dengan wanita paruh baya yang tadi ia temui di rumah sakit. Yang mengaku sebagai teman Bunda. Yang sempat menyinggung perihal Maura di hadapan Lintang. Dan ... yang dengan terang-terangan memperlihatkan ekspresi tidak sukanya pada Lintang. Astaga!
Fajar mengesah panjang, ia letakkan ponsel diatas nakas lalu ia copot kemejanya dan dibuang ke keranjang kotor. Pria itu bangkit, berderap menuju lemari untuk mencari pakaian ganti. Sejurus dengan itu, pintu kamar terbuka lebar. Lintang melotot kaget mendapati Fajar yang bertelanjang dada membelakanginya. Dan ketika Fajar menengok ke belakang, Lintang buru-buru keluar dan menutup pintu.
"Kenapa sih?" gumam Fajar, mengerutkan kening. Sedetik kemudian kepalanya menggeleng lalu lanjut mencari baju ganti. Kadang, dia bingung dengan istrinya itu. Setiap kali ia bertelanjang dada, Lintang pasti heboh sendiri. Padahal mereka sudah melakukan itu beberapa kali dan melihat satu sama lain, tapi ...
"Mas Fajar udah belum ganti bajunya?" seru Lintang dari luar.
"Sudah," sahut Fajar, santai.
Pelan, pintu didorong dari luar, sementara Fajar langsung balik badan sambil bersedekap dada, menunggu istrinya masuk. Dan ... "MAS!" pekik Lintang, mendelik shock. Baki di tangannya hampir jatuh.
"Lin, saya suamimu, bukan makhluk aneh. Kenapa histeris begitu?" ingatkan Fajar.
Lintang menunduk, kakinya melangkah masuk setelah menutup pintu. "Aku taro di—"
"Kamu belum mandi, 'kan?" potong Fajar.
Praktis Lintang mendongak, langkahnya terhenti.
Bibir Fajar melengkungkan senyum misterius sebelum ia ambil alih baki di tangan Lintang, lantas ia letakkan diatas meja, dan atensinya dipulangkan ke Lintang. "Mandi sekalian, menghemat waktu," pungkasnya enteng. Ia gendong istrinya untuk dibawa ke kamar mandi dan Lintang tidak menolak. Fajar tersenyum miring. "I need your warmth, Babe."
//
Finally able to continue this story. I hope you like it. Don't forget to leave a vote and comment on this part. Thank you.

KAMU SEDANG MEMBACA
Slow Burn [Completed]
RomanceMUNTAZ SERIES [2] - SLOW BURN WARNING ⚠️ MENGANDUNG ADEGAN 21+ Renjana Lintang Muntaz akhirnya menerima lamaran Fajar Antariksa Rahardja. Bukan karena jatuh cinta, tapi karena ingin memberi hatinya kesempatan untuk pulih. Sebelumnya, ada Langit Bumi...