12 : Dangerous

574 109 8
                                    

Menunggu Neil di depan gerbang—bersama Lintang yang duduk di sebelahnya, mata Fajar tidak berhenti menyoroti segerombolan wali murid yang berada tidak jauh dari posisinya dengan pendar tajam. Sepertinya, ibu-ibu itu tengah membicarakannya dan sang istri. Fajar pindah duduk di samping kanan Lintang, sengaja menutupi istrinya dari pandangan julid ibu-ibu di ujung sana. Otomatis Lintang terheran-heran. "Kenapa, Mas?"

"Enggak apa-apa," geleng Fajar. "Cuma pengin duduk sebelah sini aja."

"Ooh ..." Lintang manggut-manggut.

"Oh iya, Lin." Fajar teringat sesuatu, "Saya lupa bilang ke kamu kalau nanti malam, Ibu Yessi dan Bapak Amar mau ke rumah kita," beritahunya, buat Lintang yang merasa asing dengan dua nama itu kontan mengerutkan kening. Fajar menghela napas. Ini kali pertama ia memperkenalkan ibu dan ayah pertamanya ke seseorang. Dulu, waktu dekat dengan Maura—sampai menikah, Fajar tidak pernah menceritakan tentang Ibu Yessi dan Bapak Amar karena dia khawatir Maura enggan menerimanya. Tapi dengan Lintang, Fajar tidak perlu menutupi apa pun. "Kalau saya cerita ke kamu, kamu bakal berubah pikiran nggak ya?"

"Maksudnya gimana sih, Mas?" tanya Lintang, bingung. "Dan ... Ibu Yessi dan Bapak Amar tuh siapa? Soalnya tadi aku sempet denger Simbok nyebut nama Ibu Yessi."

"Ibu pertama saya, tapi bukan ibu kandung," ungkap Fajar hati-hati.

"Hm?"

Fajar menghela jarak, digapainya telapak tangan Lintang untuk digenggam. Seolah lewat genggaman itu, ia tidak merasa sendirian lagi. "Ibu Selvi dan Bapak Bagas itu ... bukan orang tua kandung saya," akunya, diikuti helaan napas panjang. Bersamaan dengan itu Lintang terperangah kaget. "Saya diadopsi ketika saya berumur sekitar tiga atau empat tahun—kata Ibu Yessi. Dan Ibu Yessi sendiri adalah pemilik panti, tempat saya ditinggalkan orang tua saya."

Alih-alih kembali menunjukkan raut kaget, Lintang justru memeluknya dari sisi. Wanita itu menyandarkan kepalanya ke lengan Fajar lalu mendongak menatap suaminya yang memperlihatkan senyum tipis. "Dan kamu perempuan pertama yang saya kenalkan ke Ibu dan Bapak," lanjutnya. "Waktu masih sama Maura, saya selalu ragu setiap kali ingin menceritakan soal ini." Bukannya bertanya, Lintang hanya mengangguk. "Now that you know who I am, what do you think or feel?"

"Nothing has changed. After all, we didn't marry because of who you were, but because of how you became the captain of our ship," tegas Lintang. "Kamu bilang, kamu menerima perjodohan ini because Neil needs a mother. Dan aku orang yang menurutmu tepat untuk menjadi ibunya."

Fajar mengangguk, sebab itu salah satu alasannya. Namun, kata 'perjodohan' yang tersemat di pernyataan Lintang tidak sepenuhnya benar. Bukan ibu mereka yang saling menjodohkan, tetapi Fajar yang meminta Lintang pada Risa dan Harry. Yang kebetulan Risa setuju dengan permohonannya itu. "So?"

"Ya kita tetap suami-istri, 'kan? Aku istrimu dan kamu suamiku," timpal Lintang. "Lalu, Ibu Yessi dan Bapak Amar juga mertuaku, 'kan?" Fajar mengangguk. "Kenapa mesti nanya dulu sih, Mas? Emangnya apa yang salah?"

Tidak ada jawaban.

Fajar mengucap syukur dalam hati. Entah terbuat dari apa hati istrinya ini. Lintang memang definisi wanita cantik—yang tidak hanya dari rupa, tapi juga dengan hatinya. Andai Fajar bertemu Lintang lebih dulu, mungkin dongengnya nggak akan sepahit kemarin.

"Ayah! Mama!" Suara Neil menyita perhatian Fajar dan Lintang—yang seketika menegakkan tubuh. Neil berlari mendekati kedua orang tuanya lantas menghambur memeluk si Ayah. "Hari ini Abang dapet bintang lima lho, Yah!" ujarnya, mendongak sambil tersenyum bangga.

"Good job," puji Fajar, membalas pelukan si kecil.

Neil nyengir kemudian atensinya disulihkan ke arah Lintang.

Slow BurnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang