Waktu termanis hari ini

25 3 0
                                    

Setelah di rawat selama empat hari, aku sudah diperbolehkan pulang oleh dokter karena keadaan sudah membaik, akan kupastikan tidak kembali kesini lagi, kecuali sebagai dokter, menjadi seorang pasien tidaklah menyenangkan.

Tapi, aku tidak diperbolehkan untuk bekerja dulu, dokter menyarankan untuk istirahat total di rumah, aku juga sudah izin pada Dokter Eiden, dia juga langsung mengizinkannya. Selama beberapa hari dirawat, tidak sekali pun Dokter Eiden absen untuk menjenguk, dia selalu menyempatkan waktunya, meski hanya melihat ku sebentar, namun itu cukup membuatku merasa diperhatikan lebih darinya.

Orang tuaku juga semakin akrab dengannya, begitu pula aku dengan orang tuanya, tepat pada hari ke tiga, kedua orang tua Dokter Eiden sempat menjenguk aku di Rumah Sakit, mereka datang dengan buah tangan yang sangat banyak, karena aku kehilangan nafsu makan, maka hanya adikku saja yang memakannya.

Mereka orang tua yang sangat hangat dan perhatian, tidak heran jika anak laki-laki nya sangat baik, hanya saja sedikit dingin sifatnya. Aku merasa bersalah karena belum bisa membalas perasaan anaknya, padahal aku tau Dokter Eiden sangat tulus mencintaiku, dia sudah sangat lama memendam perasaannya padaku, dan aku baru menyadarinya sekarang.

"Nay, ada Eiden di bawah."

Bunda masuk ke kamarku, mengatakan hal yang mengejutkan, baru saja aku memikirkannya, sekarang orang yang aku pikirkan datang ke rumah untuk menemuiku.

Aku beranjak dari kasur, "dari tadi, Bun?" tanyaku sambil memakai cardigan, karena aku hanya memakai baju tidur tanpa lengan.

"Baru aja, cepat gih kamu temuin. Bunda ke bawah dulu."

Tidak lama kemudian aku menyusul Bunda turun kebawah. Aku mengintip ke arah ruang tamu, dan benar saja ada seorang laki-laki memakai kaos putih dan kemeja biru ditubuhnya, meski berpakaian seperti itu, vibes seorang dokternya tidak hilang, mungkin karena bawaanya sudah berwibawa.

Aku menghampirinya, sedikit malu karena hanya memakai baju tidur saja, sedangkan dia sangat rapi. Aku duduk di sofa panjang yang berada tepat disampingnya, wangi parfumnya sangat menenangkan, dan juga tahan lama  meski orangnya sudah jauh, wangi parfumnya masih bertebaran dimana-mana.

"Kamu udah mendingan?" Dokter Eiden bertanya sebagai awal dari pembicaraan.

"Sudah, dok."

"Panggil Eiden saja, kita gak lagi dirumah sakit," pintanya. Aku hanya diam karena bingung juga, kalau memanggilnya dengan sebutan nama, terkesan tidak sopan, karena Dokter Eiden jauh lebih tua tiga tahun dariku, mana mungkin aku memanggilnya nama saja.

"Kurang sopan menurut saya, dok."

"Yaudah Mas aja." Ucapnya dengan enteng. Aku menelan ludah dengan susah payah, ini bener dokter pembimbingku yang nyuruh? Aku bertanya tanya dalam hati. "Kalau kamu gak keberatan." Lanjutnya.

"Bukannya dokter yang harusnya keberatan?" Tanyaku.

"Enggak, kan saya yang minta."

Aku mengangguk pelan karena ada benarnya juga, Dokter Eiden terlebih dahulu yang meminta, jadi untuk apa dia merasa keberatan.

"Yaudah kalau gitu." Ucapku menerima sarannya untuk memanggilnya dengan sebuah Mas, jujur itu masih terasa sangat aneh bahkan hanya memikirkannya saja belum mengatakan langsung.

Mas Eiden tersenyum ketika aku menyetujuinya, aku cukup senang melihatnya, mungkin itu bisa menebus rasa bersalahku padanya.

"Sebelumnya saya minta maaf, dok. Eh Mas, karena sempat cuek sama Mas sejak hari itu." Aku mengumpat untuk diriku sendiri dalam hati karena salah berbicara, dan itu juga mampu membuat Mas Eiden tertawa kecil, akh aku jadi malu.

My Future Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang