Di sebuah dunia yang pernah dihuni oleh harapan, kini tak ada yang tersisa selain kehancuran dan kepanikan. Matahari yang dulu bersinar hangat, kini hanya terlihat sebagai bola api merah di langit yang dipenuhi kabut kelabu. Suhu bumi semakin tidak stabil, malam-malam semakin dingin menggigit sementara siang hari menjadi sangat panas. Suara bencana mengiringi setiap langkah, gempa bumi, banjir besar, dan badai yang tak kenal ampun menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Alam seolah-olah sedang menghukum seluruh umat manusia.
Arka dan Yuda, dua pemuda yang sejak kecil telah berteman akrab, tinggal di sebuah kota kecil yang terletak di lembah pegunungan. Kota itu dulunya hidup dari pertanian dan perdagangan, namun semua berubah saat kekacauan mulai merasuki seluruh bumi. Ladang-ladang yang dulu hijau dan subur kini berubah menjadi tanah tandus, pasar yang pernah ramai dengan pedagang kini kosong, dan penduduk desa menghilang satu per satu. Hanya sedikit yang bertahan, dan mereka yang tinggal menjadi lebih berbahaya dari apa pun yang terjadi di luar.
Di suatu pagi yang kelam, Arka bangun dengan gemuruh gempa yang menggetarkan dinding rumah kayunya. Dinding itu sudah mulai retak akibat bencana yang terus terjadi, dan Arka tahu bahwa waktunya semakin sedikit. Di luar jendela rumahnya, kabut asap yang berasal dari kebakaran hutan di kejauhan membuat langit merah. Aroma hangus memenuhi udara, dan di kejauhan, terdengar raungan sirine tanda bahaya.
“Lagi-lagi sirine,” gumamnya dengan ketegangan di wajah. Ia menyadari ini bukan kali pertama, dan pasti tidak akan menjadi yang terakhir. Setiap kali sirine berbunyi, ada pertanda buruk yang menyusul: invasi penjarah, gelombang bencana alam, atau mungkin wabah yang terus merenggut nyawa. Arka menatap Yuda yang tertidur di atas lantai berdebu di pojok ruangan. Yuda selama ini menjadi rekan setianya, otaknya lebih tenang dan pandai merencanakan segala hal. Tapi kini, bahkan Yuda pun terlihat lelah dan kehilangan semangat.
“Kita harus pergi,” bisik Arka sambil menendang pelan kaki Yuda, mencoba membangunkannya.
Yuda membuka mata perlahan, lalu mengangguk tanpa berkata-kata. Mereka berdua tahu bahwa mereka tak bisa tinggal di tempat ini lebih lama. Persediaan makanan sudah hampir habis, air bersih semakin sulit didapatkan, dan berita tentang kota-kota besar yang hancur total terus berdatangan.
Di sudut ruangan, Arka menyimpan ransel yang selalu siap diisi dengan perbekalan darurat. Pisau survivalnya—yang selalu tajam—dia ikat di pinggang, sementara Yuda dengan sigap memasukkan kaleng-kaleng makanan ke dalam tas mereka. Di luar, suara gemuruh yang mengancam semakin mendekat, dan mereka berdua tahu bahwa bahaya sudah di depan mata.
“Kali ini lebih dekat,” ucap Yuda dengan wajah tegang. Sirine di kejauhan semakin keras. Ini berbeda dari sebelumnya—ini lebih menakutkan, lebih cepat. Tak ada waktu untuk berpikir panjang. Arka dan Yuda segera keluar dari rumah, meninggalkan segala kenangan yang mereka miliki di balik pintu yang kini tak lebih dari sebuah bangunan kosong tanpa kehidupan.
KAMU SEDANG MEMBACA
CAHAYA TERAKHIR
HorrorKisah dua pemuda yang bertahan di antara reruntuhan kota dan berlari tanpa henti untuk menghindari jiwa jiwa yang tak tenang