Lorong itu sempit dan panjang, dindingnya tertutup oleh lumut dan jaring laba-laba. Setiap langkah yang mereka ambil diiringi oleh gema langkah kaki mereka sendiri, seolah-olah diikuti oleh sesuatu yang tidak kasat mata. Udara di dalam lorong semakin dingin, dan napas mereka terlihat membentuk kabut tipis di depan wajah mereka.
Di tengah lorong, mereka tiba di sebuah pintu kayu besar yang terlihat lebih tua daripada bagian lain dari benteng ini. Pintu itu tampak seperti tidak pernah dibuka selama ratusan tahun, dengan engsel yang sudah berkarat dan ukiran-ukiran aneh di permukaannya. Arka mendorong pintu itu perlahan, dan dengan bunyi berderit yang mengerikan, pintu itu terbuka.
Ruangan di balik pintu itu jauh lebih luas dari yang mereka bayangkan. Cahaya samar dari obor-obor tua yang tergantung di dinding menerangi ruangan, memperlihatkan altar batu besar di tengah ruangan. Di atas altar itu, terlihat beberapa tengkorak manusia yang tersusun rapi, seolah-olah bagian dari ritual kuno yang sudah lama terlupakan.
“Apa tempat ini?” Yuda berbisik, tatapannya tertuju pada altar yang menyeramkan.
“Tempat ini... mungkin semacam ruang pemujaan,” jawab Arka, mencoba memahami apa yang mereka lihat. Tetapi sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, suara gemerisik terdengar dari atas altar, dan sosok mengerikan yang lebih besar dari yang pernah mereka lihat sebelumnya muncul dari bayang-bayang.
Makhluk itu tampak seperti perpaduan antara manusia dan binatang buas. Tubuhnya kurus namun sangat tinggi, dengan lengan panjang yang berotot. Kulitnya pucat seperti mayat, dan wajahnya tertutup oleh kerudung hitam yang compang-camping. Dari balik kerudung itu, terdengar suara napas berat yang terengah-engah.
Makhluk itu berdiam di tempatnya, menatap mereka dengan tatapan yang tak terlihat di balik kerudungnya, tetapi Arka dan Yuda bisa merasakan aura kematian yang kuat dari sosok itu. Tidak ada keraguan bahwa makhluk ini adalah penjaga tempat terkutuk ini, entitas yang telah lama menunggu kedatangan mereka.
“Jangan bergerak,” bisik Arka, berharap makhluk itu tidak akan menyerang jika mereka tetap tenang.
Namun harapan itu hancur seketika saat makhluk itu mengeluarkan raungan keras yang menggema di seluruh ruangan, mengguncang dinding-dinding benteng dan mengirimkan getaran ketakutan ke dalam tulang-tulang mereka. Tanpa membuang waktu lagi, Arka dan Yuda segera berlari, tetapi makhluk itu bergerak lebih cepat dari yang mereka duga. Dengan sekali lompatan, ia mendarat di depan mereka, menghalangi jalan keluar mereka dengan tubuhnya yang besar dan mengerikan.
Arka menghunus pisau, meskipun dia tahu itu tidak akan cukup untuk melawan monster sebesar ini. Sementara Yuda, yang sudah putus asa, mulai mencari-cari cara lain untuk melarikan diri. Namun tak ada jalan keluar lain—mereka terperangkap, terkunci di dalam ruangan yang kini dipenuhi oleh rasa takut yang semakin menyesakkan.
“Ini mungkin akhir kita,” ucap Yuda dengan pasrah.
Arka tidak menjawab. Sebaliknya, dia menatap mata makhluk itu dengan tekad yang tersisa, bersiap untuk melakukan perlawanan terakhir. Namun, sebelum makhluk itu bisa menyerang mereka, sesuatu yang tidak terduga terjadi. Dari salah satu sudut ruangan, terdengar suara gemuruh yang keras, diikuti oleh runtuhnya sebagian dari langit-langit benteng.
Batu-batu besar jatuh ke tanah, menciptakan lubang besar di lantai. Makhluk itu mengalihkan perhatiannya sesaat, memberi Arka dan Yuda kesempatan untuk berlari menuju lubang tersebut. Tanpa berpikir dua kali, mereka melompat ke dalam kegelapan di bawah, berharap lubang itu membawa mereka ke tempat yang lebih aman.
KAMU SEDANG MEMBACA
CAHAYA TERAKHIR
TerrorKisah dua pemuda yang bertahan di antara reruntuhan kota dan berlari tanpa henti untuk menghindari jiwa jiwa yang tak tenang