Setelah berlari tak tentu arah selama beberapa jam, akhirnya mereka menemukan sebuah gua kecil di antara bebatuan besar. Dengan napas terengah-engah, mereka memasuki gua itu, berharap serigala-serigala tidak akan mengikuti mereka ke dalam kegelapan ini. Suara raungan serigala masih terdengar, namun perlahan-lahan semakin menjauh.
Mereka duduk di lantai gua
yang dingin dan basah, mencoba menenangkan diri. Arka memeriksa pisaunya yang kini penuh darah, dan Yuda, dengan wajah pucat, menyandarkan kepalanya ke dinding gua, berusaha menenangkan napasnya yang terengah-engah.“Aku pikir kita mati tadi,” ucap Yuda dengan suara serak.
“Kita hampir saja mati,” jawab Arka sambil menatap tajam ke pintu masuk gua, memastikan tak ada yang mengikuti mereka. “Tapi serigala itu hanya awal. Dunia di luar sana sudah tidak lagi sama.”
Di dalam gua, kegelapan begitu pekat sehingga mereka hampir tak bisa melihat satu sama lain. Suara tetesan air dari langit-langit gua memecah keheningan. Arka membuka ransel dan mengambil senter kecil, menyalakannya untuk memeriksa keadaan di sekitar mereka. Gua itu sempit, hanya memiliki satu pintu keluar—tidak ada cara lain untuk melarikan diri jika ada yang menemukan mereka.
“Kita tidak bisa bertahan di sini lama,” kata Yuda dengan suara yang lebih tenang. “Serigala itu, dan siapa pun yang mengemudikan kendaraan militer tadi, pasti masih ada di luar sana.”
Arka mengangguk, tapi ia tahu mereka tidak bisa keluar sekarang. Di luar, raungan serigala mungkin sudah jauh, tapi bahaya lain selalu mengintai. Mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak. Sementara Yuda memeriksa peta yang mereka bawa, Arka memasang telinga, mendengarkan setiap suara yang terdengar di luar gua.
KAMU SEDANG MEMBACA
CAHAYA TERAKHIR
HorrorKisah dua pemuda yang bertahan di antara reruntuhan kota dan berlari tanpa henti untuk menghindari jiwa jiwa yang tak tenang