Malam itu, meskipun tubuh mereka sangat lelah, Arka dan Yuda tidak bisa tidur. Mereka duduk di sudut ruangan, punggung mereka bersandar pada dinding dingin, dengan senter yang hampir kehabisan baterai sebagai satu-satunya sumber cahaya. Pikiran mereka dipenuhi dengan bayangan dari langit-langit penuh tulang itu. Tak ada suara di dalam benteng, namun kesunyian ini lebih mengerikan daripada suara apapun yang pernah mereka dengar.
Tiba-tiba, dari lantai di depan mereka, muncul sebuah bayangan samar. Pada awalnya mereka mengira itu hanya permainan cahaya, tapi saat bayangan itu bergerak mendekati mereka, jantung mereka berhenti. Bayangan itu mulai membentuk sosok manusia, namun tubuhnya melayang, seperti hantu. Wajahnya pucat dan matanya kosong—sebuah ekspresi kehampaan yang tidak manusiawi.
“Siapa kau?” tanya Yuda dengan suara yang bergetar.
Sosok itu tidak menjawab. Sebaliknya, ia hanya menatap mereka dengan tatapan kosong, sebelum perlahan-lahan menghilang ke dalam kegelapan.
Arka berdiri dengan cepat, memegang pisau di tangannya. “Kita tidak bisa tinggal di sini. Tempat ini terkutuk.”
Yuda mengangguk setuju, meskipun tubuhnya gemetar. Mereka segera mengumpulkan barang-barang mereka, bersiap untuk keluar dari benteng yang penuh dengan bayangan dan kengerian ini. Namun sebelum mereka sempat bergerak, pintu benteng tiba-tiba tertutup dengan keras, membuat seluruh ruangan bergetar.
“Kita terperangkap,” bisik Yuda.
Arka berusaha keras untuk tidak panik. Dia mencoba mendorong pintu besar itu, namun pintu itu tak bergeming, seolah-olah ada kekuatan tak terlihat yang menahannya di tempat. Di sekitar mereka, suara langkah kaki samar mulai terdengar, meskipun tak ada yang terlihat.
“Ada sesuatu di sini… sesuatu yang lebih buruk daripada apa pun yang ada di luar,” ucap Arka dengan penuh ketakutan.
KAMU SEDANG MEMBACA
CAHAYA TERAKHIR
УжасыKisah dua pemuda yang bertahan di antara reruntuhan kota dan berlari tanpa henti untuk menghindari jiwa jiwa yang tak tenang