Bab 8: Kegilaan yang Menghantui

0 0 0
                                    

Suara langkah kaki itu semakin keras, seolah-olah datang dari segala arah. Benteng ini sudah berubah menjadi perangkap, tempat di mana segala ketakutan dan kengerian masa lalu bersemayam. Arka dan Yuda berdiri terpaku di tengah ruangan, mendengarkan suara yang bergema dari dinding-dinding batu yang dingin dan menyeramkan.

Suara langkah kaki itu semakin dekat, kini disertai dengan bisikan-bisikan samar yang terdengar seperti rintihan orang-orang yang sekarat. Arka memutar tubuhnya, mencoba mencari sumber suara, tapi ruangan itu kosong. Tidak ada apa-apa di sana kecuali bayangan dan udara dingin yang menusuk.

“Kita harus keluar dari sini,” desis Arka, keringat dingin mulai mengalir di dahinya. Yuda, yang sudah kehilangan hampir seluruh tenangannya, hanya mengangguk setuju.

Namun, saat mereka hendak melangkah menuju pintu yang terkunci, dinding-dinding batu di sekeliling mereka mulai bergoyang perlahan. Sebuah suara keras, seperti raungan makhluk yang tak berwujud, menggema dari dalam tanah. Batu-batu kecil berjatuhan dari langit-langit, dan lantai di bawah mereka mulai bergetar. Benteng itu seperti hidup, seolah-olah merespons kehadiran mereka dengan kemarahan.

“Mereka tidak akan membiarkan kita keluar hidup-hidup,” bisik Yuda, matanya terbuka lebar, penuh ketakutan.

Tiba-tiba, dari arah lorong panjang di belakang mereka, muncul sosok-sosok yang sebelumnya tak terlihat. Mereka tampak seperti manusia, namun wajah mereka cacat dan rusak—mata mereka kosong, mulut mereka terbuka lebar, dan tubuh mereka bergerak dengan langkah terseret, seolah-olah telah kehilangan seluruh rasa kemanusiaan. Arka dan Yuda tidak tahu apakah mereka masih hidup atau sudah mati, namun satu hal pasti: sosok-sosok itu bergerak mendekat, tangan mereka yang panjang terulur, menggapai ke arah dua pemuda itu dengan gerakan lambat namun pasti.

“Kita terjebak…” Yuda mengucapkannya pelan, suaranya hampir tidak terdengar di tengah suara gemuruh yang semakin menguat.

Arka menggenggam pisaunya lebih erat, tetapi dia tahu senjatanya tidak akan banyak berguna melawan makhluk-makhluk yang mengerikan ini. Sementara sosok-sosok itu semakin mendekat, napas Arka semakin cepat, dan pikirannya dipenuhi oleh gambaran mengerikan tentang apa yang akan terjadi jika mereka tertangkap.

“Kita harus lari ke dalam,” kata Arka, suaranya penuh tekad. “Mungkin ada jalan lain keluar melalui lorong-lorong ini.”

Yuda ragu, tapi dia tidak punya pilihan lain. Mereka berdua berbalik dan mulai berlari ke dalam lorong gelap yang lebih dalam di benteng itu, sementara suara langkah kaki dan bisikan menyeramkan terus membuntuti mereka dari belakang.

CAHAYA TERAKHIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang