Bab 11: Keputusasaan di Terowongan

0 0 0
                                    

Terowongan itu tampak tak berujung. Arka dan Yuda berjalan dalam kegelapan yang seolah-olah menelan mereka hidup-hidup, dengan hanya cahaya senter kecil yang mulai redup sebagai penuntun. Kaki mereka terasa berat, dan setiap langkah semakin menyeret mereka ke jurang keputusasaan. Nafas mereka terengah-engah, seolah-olah udara di terowongan ini semakin menipis, padahal dinding di sekitar mereka hanya batu yang dingin dan kaku.

“Berapa lama lagi kita bisa bertahan?” tanya Yuda pelan, suaranya gemetar. Dia sudah mencapai titik puncak ketakutannya, tubuhnya gemetar tak terkendali.

“Aku tidak tahu,” jawab Arka dengan suara rendah. "Tapi kita harus terus berjalan, kita tidak punya pilihan lain."

Di sepanjang jalan, mereka mendengar suara-suara samar yang bergema di dalam terowongan. Kadang-kadang terdengar seperti suara seseorang yang menangis, lalu berubah menjadi jeritan kesakitan. Di saat lain, hanya ada keheningan yang sangat dalam, menambah kecemasan di hati mereka. Kegelapan bukan lagi sekadar kekosongan—itu adalah sebuah entitas yang hidup, mengintai, dan siap menelan mereka kapan saja.

Setelah beberapa jam berjalan tanpa henti, mereka menemukan sebuah cabang di terowongan. Dua lorong terbentang di depan mereka, masing-masing menuju arah yang berbeda. Arka dan Yuda berhenti, kebingungan.

“Ke mana kita harus pergi?” tanya Yuda, suaranya lemah.

Arka mengarahkan senter ke kedua lorong tersebut, namun keduanya terlihat sama: gelap dan tak ada ujung. Dia menimbang sejenak, mencoba mendengarkan apakah ada petunjuk dari salah satu arah. Namun, suara yang mereka dengar hanyalah desisan angin dan sesekali jeritan jauh di dalam kegelapan.

“Ke kiri,” putus Arka akhirnya. “Kita ambil jalan kiri.”

Tanpa berbicara lebih lanjut, mereka melangkah ke lorong sebelah kiri. Semakin dalam mereka berjalan, udara terasa semakin dingin, dan lantai terowongan berubah menjadi licin karena kelembaban. Suara tetesan air dari langit-langit terowongan mulai terdengar, menambah suasana mencekam yang tak berkesudahan.

Tiba-tiba, di tengah perjalanan mereka, senter Arka mulai berkedip-kedip. Cahaya yang semula stabil itu semakin redup, hingga akhirnya mati total. Kini mereka benar-benar terbenam dalam kegelapan total.

“Tidak… tidak…” desis Yuda dengan panik, mencoba menyalakan kembali senter itu, namun sia-sia. Mereka berdua kini berdiri dalam kegelapan, hanya ditemani suara napas mereka yang semakin memburu dan gema langkah kaki di kejauhan—langkah kaki yang bukan berasal dari mereka.

CAHAYA TERAKHIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang