Wisuda

20 4 1
                                    


"Sifat baik buruknya seseorang tidak diwariskan dari keturunan, melainkan terbentuk secara perlahan dalam kehidupan sehari-hari."

—————-

"PANGGILAN khusus di tujukan kepada santriwati bernama Zahrana Kailula agar segera menuju ke ruang BK. Sekali lagi ...."

Nama yang barusan disebut sudah menjadi langganan pada pengeras suara pesantren. Bahkan seluruh santriwati sudah tak heran, mereka hanya heran mengapa tiga tahun lamanya santri bernama Zahrana atau biasa di panggil Rana itu sama sekali 'tak mendapat tindakan serius dari banyaknya kasus yang ia buat. Padahal, biasanya jika point kasus sudah banyak dicatatan pelanggaran, santri akan mendapat hukuman berat yakni skorsing bahkan drop out.

***

"Aku tau rahasia besarmu," suara bisikan terdengar jelas di sela-sela sambutan pimpinan pesantren At-Taqwa berlangsung. Zahrana yang tadinya hampir tertidur mendadak bangun dan bertanya maksud dari kata-kata Dijah—Sahabatnya.

"Kamu anak salah satu Kiyai penerus pesantren yang lumayan tersohor di Pasuruan, 'kan?"

Lagi-lagi Zahrana di buat terkejut, sudah enam tahun ia mondok dengan dua pondok berbeda tapi 'tak pernah ada yang tau statusnya. Hal ini cukup membuat Zahrana merasa tidak nyaman, ia takut nama pesantren abahnya akan berdampak buruk jika statusnya sebagai anak Kiyai itu tersebar.

Pasalnya, selama mondok, Zahrana tidak mencerminkan anak Kiyai yang seperti banyak orang ketahui. Anggun, solehah, taat aturan, dan masih banyak lagi. Bukanya apa, Zahrana hanya ingin menjadi dirinya sendiri, lagipula, sifat baik buruknya seseorang tidak di wariskan dari keturunan, bukan? Melainkan terbentuk secara perlahan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan di kalangan Nabi pun sudah ada contohnya, seperti kisah Nabi Nuh dan Anaknya.

Ah ya, terlahir dari keluarga pesantren menjadi hal yang sangat tidak disukai Zahrana. Sifatnya yang cukup liar membuatnya 'tak betah berada dalam lingkaran kehidupan yang banyak aturannya itu. Terlebih, ia sangat risih dengan perlakuan khusus yang kerap dilakukan terhadap anak Kiyai, Zahrana merasa tidak pantas untuk mendapat perlakuan berlebihan seperti itu sebab dirinya masih jauh dari kata baik.

Sedari kecil Zahrana dididik dengan ilmu agama, semuanya berlangsung baik-baik saja hingga akhirnya ia mulai berontak ketika dipaksa untuk kembali menempuh pendidikan di pesantren. Zahrana pikir, setelah lulus SD dia akan di perbolehkan bersekolah di sekolah Negeri, melihat dan mencari pengalaman baru di dunia luar pondok. Namun, semua hanya menjadi mimpi belaka, tak ada yang bisa mengalahkan sifat otoriter sang abah, apa yang abahnya katakan, itulah yang harus di kerjakan.

"Siapa lagi yang tau selain kamu dan para musyrifah?" tanya Zahrana sembari memasang wajah penasaran.

"Cuma aku, Ning ...."

Zahrana mendelik "Hush! Jangan ngada-ngada, deh! Panggil aja kayak biasanya, kamu gak lihat kelakuanku, ta? Kelakuanku gak mencerminkan seorang Ning sama sekali!"

"Tapi kan ..."

"Sssttt ..." Zahrana menempelkan jari telunjuknya pada bibir Dijah "Tau dari mana kamu?"

Begitu acara selesai, Dijah langsung menceritakan secara lengkap asal usul bocornya status Zahrana sebagai anak Kiyai. Dijah juga baru tau jika hal itu ternyata yang menjadi alasan Zahrana tidak mendapat hukuman berat meski sudah berkali-kali membuat pelanggaran, hal itu sudah pasti benar adanya sebab Dijah tak sengaja mendengar langsung dari para musyrifah yang mengobrol pada saat ia menyapu di teras kantor.

"Syukur saja hari ini adalah hari terakhir aku di pondok," gumam Zahrana pelan, mengingat peluang tersebarnya berita tadi sangat kecil sebab hari ini adalah hari wisuda serta pelepasan para pengabdi At-Taqwa. Kalaupun sudah terlajur tersebar, setidaknya Zahrana sudah 'tak lagi berada di sana.

DI BALIK CANGKANG [on going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang