Lelahnya menanti jodoh tidak sebanding dengan lelahnya menikah dengan orang yang salah.
Maka bersabarlah kamu dengan sabar yang baik (Q.S Al-Ma'arij:5)
————
"JADI mahrom ..."
Kata-kata yang diucapkan Araga kemarin siang masih terngiang di kepala Zahrana dan membuat perutnya serasa dikelilingi ribuan kupu-kupu. Beberapa saat kemudian, lengkungan manis terukir indah di wajahnya.
"Mbak Rana!" suara cempreng Khanza memecahkan lamunan Zahrana dan membuatnya kebingungan "Itu di panggil Umi Tika dari tadii loh," lanjutnya memberitahu.
"O-oh iya, kenapa, Mi?" Zahrana sedikit salah tingkah.
"Itu, salaman dulu sama Bude Naya, ucapkan terima kasih sebelum kita pulang,"
Zahrana pun mengangguk dan menuruti kata Uminya. Meski terasa berat, ia tetap harus meninggalkan kota Bogor ini, kota di mana Zahrana mengukir kenangan masa kecil juga tempat ia menempuh pendidikan selama tiga tahun lamanya. Kini, masa itu telah usai, ia harus kembali ke kota asalnya, Pasuruan.
Perjalanan dari Bogor ke kota asalnya itu memakan waktu cukup lama. Selama perjalanan, Zahrana hanya terdiam sendu, memikirkan nasibnya ke depan yang mungkin hanya berputar di lingkungan itu itu saja sehingga membuat wawasannya menjadi sangat terbatas.
***
Araga kembali membeli telur di supermarket dan berniat mengembalikannya pada Zahrana, tak lupa ia menambahi beberapa macam makanan ringan sebagai bentuk permintaan maaf. Menurutnya, janji adalah hutang, meski tidak tepat waktu, ia akan tetap menggantinya.
Araga mengendarai motornya sembari mengulang percakapan mereka kemarin.
"Cie cie ..." Khanza, bukannya menjadi penengah ia malah ikut meramaikan ketika mendengar perkataan Araga barusan.
Emosi Zahrana yang semula membabi buta ikut reda dengan pipi yang bersemu merah. Secepat kilat ia tundukkan pandangannya, berharap pria itu tak melihat wajah Zahrana yang tengah memerah layaknya tomat.
"Ada apa ini ribut-ribut?" suara bariton seorang pria memecah keheningan. Kahfi berjalan memasuki pantry seraya mengedarkan netranya ke seisi ruangan.
"Bunda di mana, Dek?" tanya Kahfi dan dijawab langsung oleh Khanza.
"Terus kalian ngapain masih diam di sini? Sebentar lagi azan," Kahfi menggantung ucapannya lalu menoleh ke arah Zahrana, Araga dan Khanza secara bergantian. "Biar Mas sama bapak ini saja yang bawa berkatnya, di sana juga ada petugas masjid, biar mereka yang bagikan, kalian diam saja di rumah," tandas Kahfi santai, sementara mata Araga hampir mencuat dari porosnya.
"Bapak? Santai sekali mulutnya berbicara seperti itu kepada makhluk Tuhan yang paling tampan ini!" sewotnya dalam hati.
Tanpa sadar, Araga telah melewati tempat yang akan di tuju saking asiknya mengingat kejadian kemarin siang. Tak menunggu lama, ia langsung memutar balik motor yang sedang ditumpanginya.
"Waalaikumsalam, cari siapa, Kang?" tanya Khanza selaku pemilik rumah yang dikunjungi.
Araga bingung, tak tau harus menjawab apa sebab kemarin belum sempat berkenalan dengan orang yang ia cari.
"Nyari mbak Rana?" tanya Khanza menyimpulkan.
"Nah iya betul! Ada?" kedua bola mata Araga berbinar.
"Ngapain nyari-nyari?" kali ini bukan Khanza yang menjawab melainkan saudara laki-lakinya. "Ini bukan rumahnya, dia sudah balik."
Araga terkejut, "Loh, Mas ini bukan kakaknya?"
"Bukan, saya calonnya."
***
Araga kembali ke rumah budenya dengan perasaan campur aduk dan berbagai macam pertanyaan. Sungguh, Araga sudah lama tak merasakan sesuatu sangat dahsyat seperti ini, sesuatu yang terkadang membuat sensasi aneh di perutnya, sesuatu yang terkadang membuatnya tersenyum dan gelisah secara bersamaan, ah ... yang pasti, sulit dijelaskan oleh kata-kata.
Araga menarik napas panjang seraya menempatkan tubuh kekarnya di sofa. Tangan kanannya sibuk memutar-mutar kunci motor dengan pikiran yang melayang tak tentu arah.
Beberapa saat kemudian, ponselnya berdering.
"Assalamualaikum, bapak sama ibuk kecelakaan tunggal, Ga ..." suara seorang wanita di seberang benda pipih itu terdengar bergetar. Dunia Araga serasa runtuh, tubuhnya mendadak lemas dengan pikiran yang sudah kemana-mana.
Tak mau menunda lama, ia langsung memesan tiket pesawat saat itu juga dan bersiap untuk berangkat ke Surabaya, kota kelahiran ayahnya.
Mengenai orang tua Araga, mereka tak pernah akur, bahkan beberapa kali Gitari sempat mengalami KDRT. Araga paham, sangat paham bahwasannya dalam bahtera rumah tangga itu tidak akan pernah berjalan mulus, tapi apapun alasannya, Araga sangat tidak suka jika ayahnya itu selalu memakai kekerasan.
Berbanding terbalik dengan ilmu parenting yang sering Araga baca dan temukan di sosial media. Di mana peran ayah dikatakan sangat mempengaruhi tumbuh kembang anak, apa yang seorang ayah lakukan itulah yang akan menjadi contoh untuk anaknya kelak. Namun, tidak bagi Araga, justru contoh buruk yang didapat dari Rafi membuat Araga bertekad untuk tidak menjadi seperti ayahnya ketika kelak berumah tangga.
"Gimana keadaan ibuk bapak, Mbak?" tanya Araga pada Afita begitu ia tiba di ruang yang telah disepakati bersama untuk bertemu.
"Ibuk koma, Ga, bapak alhamdulillah cuma kena luka ringan, sekarang lagi diperiksa,"
Araga mengusap wajahnya kasar, pikirannya mengambang kemana-mana. Membayangkan hal-hal buruk yang mungkin saja bisa terjadi, bahkan mengulang sebagian ingatan terakhir bersama ibunya sebelum ia berangkat ke Bogor.
"Lusa ibuk, bapak sama mbak Afi mau pulang kampung, jenguk si mbah yang lagi sakit, kamu yakin gak mau ikut? Mumpung libur ..." tanya Gitari pada Araga yang tengah sibuk memasukkan pakaiannya ke dalam tas ransel.
"Aku udah buat janji, buk, gak enak kalo harus dibatalin," balas Araga acuh tak acuh dan langsung mendapat respon helaan napas yang cukup panjang.
"Mbok yo sudah tho lee, main-mainnya, gak kasian ta sama ibuk yang sudah makin tua tapi belum punya cucu?" Gitari mengeluh dengan nada medhok khasnya.
Alih-alih menggubris, Araga malah tetap melanjutkan aktifitasnya yang kala itu sedang memasukkan pakaian ke dalam ransel. Bukanya apa, Araga sudah sangat muak dengan tema pembicaraan yang tak ada habisnya itu, kalau boleh jujur, siapa sih yang tidak mau menikah?
Araga paham, pertanyaan keramat seperti itu terus dilontarkan ibunya mungkin karena ia terlalu tertutup masalah percintaan. Selain itu, sejak Afita menikah, Gitari memang sudah sering berharap cucu, tapi takdir berkata lain. Afita berpisah dengan suaminya pada tahun pertama pernikahan.
Sudah sepuluh tahun lamanya dan Afita sama sekali belum berniat untuk menikah lagi, bahkan Afita menjadi sangat sensitif ketika ditanyai tentang itu. Ia juga sempat mengaku bahwa saat ini ia sangat menikmati kesehariannya sebagai wanita karir.
Entah itu hanyalah kalimat penenang atau memang seperti itu faktanya. Tapi satu hal yang pasti adalah perasaan trauma. Rasa takut untuk memulai kembali, rasa takut jika keputusan terbarunya akan membuat satu kegagalan lagi. Alhasil, Gitari tak lagi menaruh harapan pada putri sulungnya melainkan pada Araga, meski sampai saat ini belum ada titik terang.
"Aku bakal turutin permintaan ibuk, tapi bangun, ya?" ucapnya lirih seraya memegang tangan ibunya yang masih terpasang selang infus.
————
Bersambung.
KAMU SEDANG MEMBACA
DI BALIK CANGKANG [on going]
SpiritualTerlahir dari keluarga pesantren menjadi hal yang sangat tidak disukai Zahrana. Sifatnya yang cukup liar membuatnya 'tak betah berada dalam lingkaran kehidupan yang banyak aturannya itu. Terlebih, ia sangat risih dengan perlakuan khusus yang kerap d...