"Setiap manusia pasti berpeluang mendapatkan hidayah. Namun, tidak semua yang diberikan hidayah, mau mengambil hidayah itu."————
TERDENGAR samar-samar dari pengeras suara seseorang menyebutkan nama Araga Diratama diiringi dengan kalimat istirja. Suara itu terulang sebanyak dua kali, persis seperti pengumuman di masjid ketika ada seseorang yang meninggal dunia.
Sebentar, meninggal dunia?
Lelaki dengan nama yang disebutkan pada mikrofon tadi melihat dirinya sendiri terbaring dengan wajah pucat dan kain kafan yang membalut seluruh tubuh. Dirinya kini dikelilingi banyak orang, keluarga, kerabat, bahkan para mantannya juga hadir, turut meratapi kepergiannya.
Araga mulai panik, ia berusaha memanggil orang di sekelilingnya tapi tak ada satupun yang menyahut. Merasa tidak digubris, Araga kini memutuskan untuk mendekati Gitari—sang ibu.
"Buk?" Araga berusaha memegang bahu sang ibu tapi nihil, tubuhnya tembus pandang. Araga mengamati tangannya sejenak, "Buk? Ini aku ..."
Tak ada jawaban, tangisan Gitari justru semakin kencang begitu melihat anak bungsunya itu akan segera dimasukkan ke liang lahat.
Melihat Gitari yang semakin histeris, suaminya—Rafi dengan sigap memeluk sang istri berusaha menenangkan. Keduanya pun hanyut dalam dekapan bersama kesedihan yang membara.
Araga mengamati tubuhnya yang semakin lama semakin menghilang. Ia juga menyaksikan dengan jelas bagaimana semua orang berbalik pulang meninggalkannya sendiri seolah 'tak ada dirinya di sana.
Begitu semua orang berlalu, pandangan Araga seketika gelap, menerobos masuk ke dimensi lain lantas bertemu dengan sosok berjubah hitam.
"Man Robbuka?" pertanyaan pertama dilontarkan oleh makhluk itu dengan penuh penekanan.
Tidak ada jawaban, tubuh Araga terbaring kaku, bibirnya kelu, napasnya memburu, entah mengapa pertanyaan yang seharusnya mudah dijawab, kini seolah membungkamnya menjadi bisu.
"MAN ROBBUKA?" kali ini sosok berjubah hitam itu menaikkan nada bicaranya seraya mengeluarkan benda panjang berupa cambuk dengan api yang menyala siap dilayangkan pada tubuh lemah Araga.
"TIDAAAKKK!"
Embusan napas terdengar sangat kasar, frekuensi detak jantung melaju pesat, Araga bangun dari tidurnya lantas memegang seluruh tubuh, netranya menyisir ke seisi ruangan, sampah makanan ringan dan pakaian masih bercampur menjadi satu menandakan bahwa ia masih berada di kamar, bukan kuburan.
"Huftt, syukur cuma mimpi," ucapnya lega dan langsung berjalan keluar kamar. Tubuhnya yang masih sempoyongan itu tanpa sengaja menabrak daun pintu yang terbuka lebar sejak semalam.
"Setiap yang bernyawa akan merasakan kematian."
Bola mata Araga seketika melebar, rasa kantuknya sirna tanpa sisa, berganti dengan perasaan was-was. Entah hanya kebetulan atau memang ini sebuah peringatan, yang pasti, tulisan yang bertengker di pintu itu sangat menyeramkan!
"Mau kemana, lo?" tanya Araga pada Kaisar—Adik sepupunya yang tiba-tiba lewat di hadapannya.
"Sholat Dzuhur, Mas," balas Kaisar sembari melipat sajadah dan meletakkannya di pundak.
"Gue ikut."
Kaisar tampak sedikit heran, pasalnya, setiap kakak sepupunya itu berkunjung ke rumah, ajakan Kaisar untuk salat di masjid selalu mendapat penolakan.
"Tunggu gue sepuluh menit, kita berangkat bareng," tuturnya di balas anggukan kikuk dari Kaisar.
Araga terlahir dari keluarga sederhana, dibesarkan oleh kedua orang tua yang sibuk bekerja menjadikannya lelaki tangguh dan mandiri sejak dini. Namun, hal itu ternyata berdampak buruk bagi pergaulan Araga. Bagaimana tidak? Sedangkan zaman semakin gila, kedua orang tuanya sibuk mencari pundi-pundi kehidupan sampai lupa memberikan pengawasan kepada anak kecil berusia lima tahun pada saat itu. Alhasil, ketika remaja, Araga sempat terbawa arus pergaulan yang tidak baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
DI BALIK CANGKANG [on going]
EspiritualTerlahir dari keluarga pesantren menjadi hal yang sangat tidak disukai Zahrana. Sifatnya yang cukup liar membuatnya 'tak betah berada dalam lingkaran kehidupan yang banyak aturannya itu. Terlebih, ia sangat risih dengan perlakuan khusus yang kerap d...