03 - HARAPAN

443 29 0
                                        

Dokter memeriksa denyut nadi Viona dengan seksama, alisnya sedikit mengernyit saat menyadari tidak ada yang aneh dengan tubuhnya.

Setelah mengatakan beberapa hal, dokter tersebut pergi.

Viona sudah terbiasa dengan kehadiran dokter yang memeriksanya. Selama dua bulan ini, dia secara bertahap memulihkan diri, meskipun dokter mengatakan bahwa penyakitnya tidak bisa disembuhkan.

Setidaknya, dia tidak lagi merasakan sakit karena jantungnya.

Selama itu juga, suami dan ibu mertuanya tidak pernah datang menjenguk dirinya.

Viona berjalan ke sisi jendela dan memandang bintang yang menyinari langit malam. Ada setitik harapan di matanya, berharap bisa bertemu kembali dengan Lenio.

"Kamu tidak istirahat?" tanya seorang suster yang membawa sekotak obat.

Viona menggeleng, dia sudah cukup beristirahat selama beberapa bulan ini, namun suasana hatinya belum pulih setelah mendengar kabar kematian Lenio. Viona merasa kehilangan sosok sahabat sekaligus cinta pertamanya.

Suster itu mengangguk, lalu berjalan ke arah Viona. "Apa yang kamu lihat?"

Suster tersebut sudah cukup dekat dengan Viona, selama satu hari dia bisa bertemu Viona tiga kali untuk mengantarkan obat. Mereka mulai semakin dekat.

"Bintang," jawab Viona pelan.

Suster itu ikut menoleh ke arah bintang. "Katanya, bintang bisa mendengar doa kita?"

"Kamu percaya?" tanya suster.

Viona terdiam. Dia tidak percaya jika bintang bisa mendengar doa seseorang. Karena jika bintang bisa mendengar, dia tidak akan merasa seperti ini.

"Percaya?" Walaupun Viona tidak yakin, dia masih ingin mempercayainya.

"Apa harapan kamu?" tanya suster.

"Menebus semuanya."

"Ada apa?" tanya suster kepada Dokter Allean yang sedang meracik obat di laboratorium.

Dokter Allean menoleh, "Pasiennya Dokter Azlan butuh obat."

Suster mengangkat alisnya bingung, "Siapa?"

"Pasien di ruang rawat inap nomor delapan."

Tubuh suster menegang saat menyadari siapa orang itu. Dia sudah mengenal Viona selama beberapa bulan ini, dan perempuan itu sangat baik meskipun wajahnya terlihat kaku dan datar. Awalnya, dia merasa takut dengan Viona, tapi setelah mengenalnya, suster itu sadar bahwa hati Viona sangat hangat.

Viona adalah perempuan yang memiliki hati murni, tidak pernah berbohong untuk kebaikan orang lain. Jika dia tidak suka, dia akan mengatakannya secara terbuka.

Bisa dikatakan, Viona bukan tipe perempuan yang suka berpura-pura untuk menyenangkan orang lain.

"Dokter, apakah dia akan baik-baik saja?" tanya suster itu.

Dokter Allean mengangkat kepalanya, bibirnya berkerut seolah sedang memikirkan sesuatu, "Aku tidak tahu."

Karena Dokter Allean tidak pernah peduli dengan seseorang. Dia menjadi dokter karena ingin mewujudkan cita-citanya. Banyak dokter yang mengatakan bahwa dulu, ketika remaja, Dokter Allean adalah anak yang baik dan ceria. Namun, semakin dewasa, kepribadiannya perlahan berubah. Sekarang, Dokter Allean menjadi sangat dingin, seolah tidak peduli dengan nyawa manusia yang sedang sekarat.

Itulah sebabnya, Dokter Allean lebih memilih untuk mengabdikan dirinya di ruang laboratorium untuk meneliti obat-obatan daripada berurusan dengan pasien.

"Semoga Dokter Azlan bisa menyelamatkannya," tutur suster itu tulus, hingga membuat Dokter Allean terdiam.

"Jangan terlalu dekat dengan mereka yang menjadi pasien di sini, apalagi menumbuhkan perasaan yang tidak seharusnya ada," ujar Dokter Allean.

Suster menoleh dengan bingung, "Kenapa?"

"Karena kita tidak tahu apakah mereka akan pergi ke dunia lain atau pergi dari rumah sakit ini."

Suster tertegun menatap Dokter Allean. Bukankah kata-katanya sedikit menyakitkan? Apakah Dokter Allean pernah merasakan kehilangan?

Suara ketukan di pintu mengalihkan perhatian mereka berdua, lalu tak lama masuk seorang pria paruh baya yang mengenakan setelan baju formal.

Suster ingin pergi, tapi dia harus mengambil beberapa obat.

"Apakah kamu sibuk?" tanya pria paruh baya itu kepada Dokter Allean.

Dokter Allean mengangguk, "Aku sangat sibuk."

"Ibumu merindukanmu, pulanglah sekarang."

Suster beberapa kali menoleh ke belakang. Dia tahu pria itu adalah walikota yang sudah menjabat selama beberapa dekade. Namun, dia baru tahu bahwa Dokter Allean adalah anak walikota. Seharusnya anak walikota menjadi tentara, mengapa malah memilih menjadi dokter?

"Kamu tidak perlu melakukan formalitas yang tidak penting seperti ini," jawab Dokter Allean acuh.

Wajah walikota berkerut tak suka, "Apa maksudmu tentang formalitas tidak penting? Kamu putraku."

"Aku bukan putranya."

Ayah dan anak itu saling memandang dengan ekspresi berbeda. Bahkan suster yang berada tak jauh dari sana sedikit ketakutan.

"Sampai kapan kamu merendahkan dirimu sendiri dan menganggap dirimu berbeda? Apakah kamu tidak bisa menerima kenyataan kalau kamu adalah anakku?" ujar walikota.

"Jika aku bisa memilih, aku juga tidak ingin menjadi seperti ini."

Karena tidak ingin berdebat lebih lanjut dengan ayahnya, Dokter Allean beranjak pergi sambil membawa sebotol obat yang baru saja diracik.

Walikota menatap kepergian anaknya dengan sedih. Allean tidak bisa menerima dirinya sebagai bagian dari keluarga walikota dan selalu menganggap dirinya tidak cocok tinggal di rumah itu. Walikota tidak tahu apa alasan Allean menjauh, yang pasti anak itu sangat keras kepala dan membuatnya pusing.

Suster menaruh dua kotak obat di atas nakas, memandang tubuh Viona yang terbaring lemas di ranjang.

"Karena kita tidak tahu apakah mereka akan pergi ke dunia lain atau pergi dari rumah sakit ini."

Perkataan Dokter Allean kembali terngiang di benaknya.

Walaupun suster tidak tahu kehidupan seperti apa yang dilalui Viona, sepertinya perempuan itu sudah sangat menderita, baik secara fisik maupun batin.

Perlahan, mata Viona terbuka, dan dia memandang suster dengan kerutan tipis di dahinya.

"Ada apa?" tanya Viona dengan suara yang terdengar serak.

Bibir Viona pucat, mulutnya meringis kecil saat merasakan debaran jantung yang membuatnya kesakitan.

Melihat ekspresi Viona, suster menjadi sangat panik dan segera memanggil Dokter Azlan yang berada tak jauh dari sana.

Dokter Azlan bergegas masuk. "Bawa oksigen sekarang!"

Suster dengan cekatan memasangkan oksigen kepada Viona, dan tak lama beberapa suster lainnya masuk untuk membantu.

Suara monitor berbunyi nyaring, menunjukkan garis lurus yang membuat keadaan semakin panik.

Dokter Azlan mengambil defibrillator dan menaruhnya di dada Viona. Tubuh Viona terlonjak ke atas setelah mendapat sengatan dari defibrillator. Karena denyut jantung belum kembali, dokter meletakkan defibrillator lagi, hingga yang ketiga kalinya.

Namun, melihat monitor yang masih menunjukkan garis lurus, Dokter Azlan menghela napas, "Catatan waktu kematiannya."

Sejujurnya, keadaan Viona sudah memburuk sejak dua bulan lalu. Mungkin karena stres berkepanjangan, penyakitnya pun kambuh.

Suster yang mengetahui bahwa Viona telah tiada merasakan sedikit perasaan kehilangan. Ternyata, benar apa yang dikatakan Dokter Allean. Kehilangan terkadang lebih menyakitkan daripada apa pun.

TBC

COME BACK TO METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang