Hari demi hari berlalu, suasana di studio berubah drastis. Tim produksi yang biasanya hangat dan penuh canda tawa kini terasa tegang. Raka yang biasanya tegas dan fokus, terlihat lebih murung. Ia jarang tersenyum, dan setiap jeda di antara pengambilan gambar hanya dihabiskan dengan menatap kosong pada monitor atau menulis sesuatu untuk mengalihkan perasaannya.
Di sudut lain, Melly berusaha menyibukkan diri dengan menyusun naskah, namun sering terlihat termenung. Tatapannya kosong, menatap layar komputer tanpa sungguh-sungguh membaca kata-kata di sana.
Seluruh kegembiraan yang biasanya melingkupi pekerjaannya mendadak hilang. Rekan-rekan kerja mereka hanya bisa saling menatap dan bertanya-tanya, mengapa dua orang yang begitu serasi kini menjadi begitu jauh.
Setiap kali Raka dan Melly berada di satu ruangan, mereka berusaha menghindari kontak mata. Mereka berbicara seperlunya saja, hanya tentang pekerjaan, dan itu pun dengan nada yang dingin dan kaku.
Raka, yang biasanya berusaha mengimbangi lelucon Melly, sekarang hanya menjawab dengan singkat, membuat suasana terasa semakin canggung. Melly, yang biasanya riang, kini terlihat lebih pendiam dan serius.
Masing-masing merasa dikhianati dan tidak dimengerti, menciptakan jarak yang semakin lebar di antara mereka.
Hari-hari berjalan tanpa kehadiran tawa dan candaan khas Melly yang selalu membuat suasana bekerja lebih ringan. Keberadaan mereka di studio terasa seperti bayangan dari masa lalu yang bahagia, meninggalkan tim produksi dalam perasaan resah dan kehilangan.
Mereka tahu bahwa tanpa kerja sama Raka dan Melly, acara ini tak lagi sama. Namun, baik Raka maupun Melly terlalu terluka untuk mengakui kerinduan yang sesungguhnya mereka rasakan.
Suasana di studio kini tak lebih dari sekadar rutinitas kosong, tempat di mana pekerjaan dijalankan tanpa hati, tanpa tawa, dan tanpa kehangatan yang dulu memenuhi ruangannya.
Setelah menyelesaikan siaran, satu persatu para kru berpamitan dan meninggalkan ruangan. Kecuali Melly yang masih duduk bersandar dikursinya dengan mata tertutup.
"Lo gak pulang, Mel?" Tanya Tiara.
"Hm, bentar lagi." Jawabnya tanpa membuka mata.
Tiara yang hendak pulang pun mengurungkan niatnya, kemudian duduk di samping Melly.
"Mel, gue sedih deh liat kalian perang dingin kayak gini."
Melly membuka matanya, lalu menatap Tiara.
"Apasih, tiba-tiba."
"Kalian gak mau baikkan apa? Atau nggak, kayak awal-awal deh. Lebih baik kalian adu argumen, dari pada diem-dieman kayak gini."
Melly menyunggingkan satu sudut bibirnya. "Bukannya lebih baik kayak gini ya? Kerjaan jadi cepet selesai karena gak banyak omong, terus masalah rating pun masih stabil."
"Nggak. Justru kita semua makin canggung. Walaupun gak keliatan di layar kaca, tapi kita sebagai kru produksi harus punya kemistri yang baik." Imbuh Tiara.
"Gue sangat menyayangkan keceriaan lo yang selama ini selalu lo bawa ke tim, tiba-tiba hilang. Gue berharap kalian bisa ngobrol satu sama lain. —Toh gosip yang beredar pun emang gak bener." Lanjutnya.
Melly terdiam menatap kosong ke depan.
Tiara bangkit dari duduknya "Kalo gitu, Gue cabut duluan. Jangan lupa pikirin apa yang gue bilang barusan." Sambil menepuk pundak Melly.
"Iyaa, tiati."
Melly menghela napas panjang. Bukannya ia tak mau bicara baik-baik tentang masalah ini dengan Raka. Dua hari yang lalu Ia sudah memberanikan diri untuk mengajak Raka bicara, tetapi yang ada pria itu semakin menghindarinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anchor Love Script
Любовные романы[Byeon Wooseok X Kim Hyeyoon] Raka adalah pembawa berita paling serius di stasiun TV ternama, sementara Melly adalah penulis naskah yang terkenal dengan ide-ide nyelenehnya. Mereka dipaksa bekerja sama saat acara berita malam perlu suasana baru yang...