#21 : Kabar Buruk

6 4 0
                                        

"Kalau kepergian ini memang pilihan terbaik, memilih untuk setuju rasanya cuma akan berujung luka yang panjang."

-Rayna-


Vanessa melajukan mobilnya menuju rumah Rayna dengan pikiran yang kalut. Kabar dari Alex tentang kecelakaan Bryan membuat hatinya ikut bergetar. Sesampainya di depan rumah Rayna, ia segera mengirim pesan singkat bahwa ia sudah tiba. Tak lama, Rayna keluar dengan raut wajah bingung, namun tetap menyambut Vanessa dengan senyum kecil.

“Ada apa, Van? Tumben jemput gue?” tanya Rayna, sedikit penasaran.

Vanessa menggigit bibir, sedikit ragu, namun ia tahu bahwa Rayna harus segera tahu. “Ray… Bryan kecelakaan. Dia sekarang di rumah sakit. Alex minta kita ke sana,” jawab Vanessa dengan suara lembut namun tegas.

Wajah Rayna seketika berubah pucat. “Apa? Kapan kecelakaannya? Dia baik-baik aja, kan?” suaranya mulai gemetar. Jantungnya berdetak kencang, perasaan tak enak yang tadi menghantuinya kini seolah menjadi kenyataan.

“Gue nggak tahu pasti keadaannya, tapi kita harus segera ke sana. Ayo!” kata Vanessa, menggenggam tangan Rayna untuk memberikan ketenangan.

Tanpa banyak bicara, Rayna masuk ke mobil Vanessa, dan mereka bergegas menuju rumah sakit.

Sesampainya di rumah sakit, Rayna merasa gugup. Ini adalah pertama kalinya ia harus menghadapi orang tua Bryan setelah sekian lama tidak bertemu. Dengan hati-hati, mereka berjalan menuju ruang tunggu di mana keluarga Bryan berkumpul. Melihat kehadiran Rayna, Dahlia—Mama Bryan—berdiri dan menyambutnya dengan tatapan penuh tanda tanya.

“Kamu siapa, Nak?” tanya Dahlia, suaranya lembut meski kesedihan masih tampak jelas. Ia berusaha tegar ketika teman-teman Bryan yang lain datang menjenguk.

Rayna tersenyum tipis, matanya menatap dengan penuh haru. “Tante, Om… perkenalkan saya Rayna, teman Bryan. Keadaan Bryan bagaimana? Apa sudah siuman?"

"Sudah, kami sudah menjeguk baru saja. Kalau kamu mau jenguk, silakan," Gunawan, papa Bryan memberikan isyarat agar Rayna masuk ke ruang IGD.

Rayna mengucapkan terima kasih dengan lirih sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam ruang perawatan. Begitu melihat Bryan yang terbaring dengan tubuh dipenuhi perban, air mata Rayna langsung tumpah. Luka dan memar di tubuh Bryan membuatnya terasa sesak. Selang infus terpasang di lengannya, dan napasnya terdengar lemah.

Bryan perlahan membuka matanya dan, meski pandangannya sedikit kabur, ia menyadari sosok Rayna berdiri di sampingnya. Ia menatapnya dengan tatapan sayu, tampak terkejut melihat kedatangannya.

“Ray…” gumam Bryan lemah.

Tanpa berpikir panjang, Rayna langsung memeluknya. “Bryan, gue kangen sama lo,” bisiknya di telinga Bryan, isakannya pecah di pelukannya.

Namun, alih-alih membalas pelukan itu, Bryan justru mengangkat tangannya yang lemah untuk mendorong Rayna dengan lembut. “Ray… jangan…” ucapnya lemah, menahan tangis yang mulai menggumpal di tenggorokannya.

Rayna mundur sedikit, bingung dengan sikap Bryan yang tiba-tiba menolaknya. “Kenapa?” tanyanya dengan suara bergetar. “Apa gue salah datang ke sini? Gue cuma… Gue cuma pengen lihat keadaan lo.”

Bryan menunduk, mengambil napas panjang meski terasa berat. “Ray… kita nggak bisa seperti ini lagi,” ucapnya, suaranya serak. “Lo… lo sekarang milik orang lain. Gue nggak ada hak buat deket sama lo lagi, Ray.”

Kata-kata Bryan menusuk hati Rayna seperti pisau tajam. Ia menatapnya dengan tatapan tak percaya. “Bryan, maksud lo apa? Gue milik orang lain? Nggak ada yang pernah memutuskan itu selain gue sendiri,” jawabnya, suaranya mulai mengeras karena kesedihan dan amarah bercampur jadi satu.

Can I Be Yours? [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang