#23 : Pertemuan dan Perpisahan

10 3 1
                                    

"Semoga kita bisa bertemu lagi, di waktu terbaik menurut takdir."

-Bryan-

Hari itu, Rayna menatap kanvas di depannya dengan perasaan yang sulit digambarkan. Di sampingnya, Bryan berdiri sambil menggenggam palet warna, menatap kanvas yang sama dengan pandangan kosong. Proyek seni mereka yang sempat tertunda selama ini harus diselesaikan. Tanpa mereka sadari, proyek ini menjadi alasan terakhir mereka untuk bertemu. Rayna dan Bryan tahu, begitu proyek ini selesai, segalanya akan berakhir. Sebuah perpisahan yang tak terhindarkan, namun harus dihadapi.

Rayna mengoleskan kuasnya dengan lembut, membentuk guratan terakhir di atas kanvas. Tangan Bryan menyusul, menambahkan sentuhan warna yang mereka sepakati sebelumnya. Namun kali ini, tak ada diskusi atau tawa seperti biasanya. Hanya keheningan yang diiringi desiran perasaan tak menentu. Mereka berdua saling tenggelam dalam pikiran masing-masing, merasa terjebak antara kebahagiaan kecil saat bersama dan kenyataan pahit yang tak bisa dihindari.

Di tengah kesibukan merampungkan lukisan itu, Rayna dan Bryan saling melirik sesekali. Hanya tatapan singkat, namun penuh arti. Sekilas, Rayna dapat melihat mata Bryan yang tampak sendu, seolah memendam perasaan yang tak pernah terucapkan. Sementara itu, Bryan melihat senyum tipis di wajah Rayna yang terasa begitu hampa, tak seperti biasanya.

Saat sapuan kuas terakhir mereka selesai, Bryan akhirnya merampungkan puisi yang dibacanya. Rekaman video itu akhirnya selesai. Bryan menarik napas dalam, berusaha mengumpulkan kekuatan untuk bicara.

"Rayna," suara Bryan terdengar lirih. "Gue harap... lo bisa bahagia, meskipun kita harus seperti ini pada akhirnya."

Rayna menunduk, jantungnya berdebar kencang. Ia tahu momen ini akan datang, akan tetapi tak menyangka secepat ini. Ia menahan air mata yang mulai menggenang, memaksakan senyum kecil meskipun hatinya terasa berat.

"Makasih, Bryan," ucap Rayna pelan. Ia ingin mengatakan banyak hal, mengungkapkan semua perasaan yang terpendam, namun lidahnya kelu. Satu-satunya yang bisa ia lakukan hanya berterima kasih.

Bryan tersenyum getir, lalu ia meraih tangan Rayna, menggenggamnya sejenak. "Maafin gue karena terlambat mengungkapkan perasaan ini ke lo," bisiknya, penuh penyesalan. "Semoga nanti lo bisa menemukan seseorang yang benar-benar bisa membuat lo bahagia, tentunya dengan kejelasan, nggak kayak gue."

Rayna hanya diam, masih bergulat dengan emosinya. Tak ada kata-kata yang bisa dia ucapkan lagi. Ia membalas genggaman tangan Bryan dengan lembut, membiarkan perasaan mereka terungkap dalam keheningan. Ketika Bryan melepas tangannya, Rayna merasa seolah sebagian dari dirinya juga ikut hilang.

"Semoga kita bisa bertemu lagi, di waktu terbaik menurut takdir." Bryan tersenyum getir ketika harus mengatakan itu pada Rayna untuk yang terkahir kalinya.

Akhirnya, mereka berpisah dengan tenang, tanpa ada amarah atau dendam. Bryan berlalu meninggalkan Rayna dengan langkah pelan, meninggalkan jejak kenangan yang tak akan pernah ia lupakan. Rayna berdiri mematung, merasakan perih di dadanya namun tetap berusaha untuk tegar. Mungkin inilah takdir mereka, berpisah meskipun hati mereka masih saling terikat.

♡♡♡

Setelah pertemuan itu, waktu berlalu dengan cepat. Rayna dan Bryan sama-sama terjebak dalam kesibukan semester akhir yang tak memberi ruang bagi kenangan untuk muncul kembali. Tugas akhir dan persiapan wisuda menjadi prioritas, memaksa mereka untuk fokus dan berusaha melupakan satu sama lain.

Di tengah hiruk pikuk kegiatan kampus, Rayna menemukan dirinya harus sering berinteraksi dengan Julian. Julian selalu datang ke kampus atau bahkan ke rumahnya, selalu menawarkan bantuan meskipun Rayna tak pernah memintanya. Bagi Rayna, perhatian Julian terasa canggung, seolah ada jarak yang tak bisa dia jangkau. Ia tak bisa membalas perhatian Julian dengan ketulusan yang sama.

Can I Be Yours? [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang