Matahari baru saja terbit, cahayanya masuk melalui celah jendela kecil di kamar pembantu. Rani terbangun lebih awal dari biasanya. Di sampingnya, bayi laki-lakinya yang baru berusia beberapa bulan terlelap dengan wajah damai, jemari mungilnya menggenggam selimut dengan erat. Melihat wajah bayinya selalu menjadi penghiburan bagi Rani di tengah kesulitan yang dialaminya. Anak itu adalah segalanya bagi Rani, sumber kekuatan dan harapan.
Sejak melahirkan, Rani tetap bekerja di rumah Alex, mengurus kebutuhan sehari-hari tanpa keluhan, meskipun di balik sikap tenangnya tersimpan kelelahan yang luar biasa. Alex, meskipun awalnya tidak peduli, mulai memperhatikan bayi itu dari jauh. Kadang-kadang Rani menangkap Alex mencuri pandang ke arah putranya saat mereka bermain di halaman belakang. Sekali waktu, bahkan Alex datang dan mengajak bayi itu bermain sebentar, meski saat ada orang lain, ia segera menjaga jarak.
Di mata orang lain, Alex tetap seorang majikan yang tak terlibat dalam kehidupan Rani maupun anaknya. Namun, Rani merasakan perubahan kecil yang tak bisa diabaikan. Alex sering menyiapkan hal-hal kecil untuk bayi mereka: pakaian, mainan, atau makanan khusus. Meskipun perhatian itu terkesan tersembunyi, Rani tahu, hati Alex perlahan berubah.
***
Suatu sore, saat Rani sedang menyiram tanaman di halaman belakang, datanglah seorang pria yang tak asing di lingkungan mereka, Dimas. Ia adalah teman lama Alex yang sudah lama tidak berkunjung. Rani segera menghentikan pekerjaannya dan membukakan pintu untuknya."Selamat sore, Pak Dimas. Tuan Alex sedang tidak di rumah. Mungkin Bapak ingin menunggu di dalam?" tanya Rani sopan.
Dimas tersenyum dan mengangguk. "Terima kasih, Rani. Saya tunggu di sini saja, tak apa-apa. Lagipula, sudah lama saya tidak bertemu dengan Alex, dan rasanya sudah lama juga saya tidak melihatmu di sini."
Rani tersenyum kecil, mengingat pertemuan mereka beberapa tahun silam saat Dimas pertama kali datang sebagai rekan bisnis Alex. Meski mereka jarang berbincang, Dimas dikenal sebagai orang yang ramah dan mudah bergaul. Keduanya pun berbincang ringan sambil menunggu Alex pulang.
Obrolan mereka mengalir, dan beberapa kali Dimas membuat lelucon yang mengundang tawa Rani, sesuatu yang jarang terjadi belakangan ini. Mereka berbincang tentang hal-hal ringan, tentang tanaman, tentang desa asal Rani, dan tentang anak kecil di rumah itu yang Dimas kira adalah kerabat jauh Alex.
Namun, tanpa disadari mereka, Alex sudah tiba dan melihat mereka berdua dari jendela. Ada sesuatu yang membuat Alex merasa panas. Ia melihat Rani tertawa, lebih bebas daripada saat bersamanya. Amarah dan cemburu membakar dadanya.
***
Siang harinya, setelah Dimas pergi, Alex mendatangi Rani yang sedang membereskan ruang tamu.
"Senang sekali kau tampaknya, Rani," ujar Alex dengan nada tajam, membuat Rani terkejut.
Rani menoleh dengan dahi berkerut. "Maksud Tuan?"
"Jangan berpura-pura tidak tahu," kata Alex, mendekatinya dengan tatapan dingin. "Aku melihatmu bercanda dan tertawa dengan Dimas. Kau pikir aku buta?"
Rani menunduk, merasa bingung dengan tuduhan Alex. "Tuan, Dimas hanya datang untuk menemui tuan, tapi saya yang menerima tuan sedang di luar. Itu saja."
"Benarkah? Mengobrol begitu lama hanya untuk itu?" ejek Alex, sinis. "Kau bahkan tak pernah tertawa seperti itu denganku."
Rani menatap Alex, mencoba menahan perasaan tersinggungnya. "Tuan, itu tidak ada hubungannya dengan Tuan."
Alex mendekatkan wajahnya, menatap Rani dalam-dalam. "Kau menikmati perhatian dari pria lain, ya?"
Rani terdiam, merasa kata-kata itu sangat menyakitkan. "Tidak, Tuan. Saya tidak seperti yang Tuan kira."
KAMU SEDANG MEMBACA
Love and Birth
Short StoryCerita pendek kisah cinta hingga kelahiran buah hati mereka