Setelah menikah dalam sebuah upacara sederhana di rumah, Alex dan Rani memulai babak baru bersama sebagai suami istri. Alex perlahan menjadi sosok suami dan ayah yang bertanggung jawab, memenuhi janjinya untuk menjaga keluarganya. Seiring waktu, perhatian dan kasih sayangnya terhadap Rani semakin nyata, meski di balik penampilannya yang sering tampak tegas.
Beberapa bulan berlalu, dan kandungan Rani semakin membesar. Di tengah rutinitas harian mereka, Alex selalu memastikan Rani dan anak-anaknya berada dalam kondisi baik. Tapi suatu pagi, sebuah kejadian tak terduga mengubah segalanya.
Di tengah perjalanan menuju rumah sakit untuk pemeriksaan rutin, Rani merasakan nyeri yang berbeda dari biasanya. Ia terengah-engah di kursi penumpang sambil menggenggam erat perutnya yang terasa semakin mulas.
"Tuan... aku... aku rasa ini waktunya," gumam Rani dengan napas terputus-putus.
Alex memandangnya dengan cemas. "Rani, tahan sebentar! Kita hampir sampai di rumah sakit!"
Namun, jalanan yang padat memperlambat perjalanan mereka. Bayi mereka yang masih kecil duduk di kursi belakang sambil merengek, tampaknya ikut merasa tak nyaman dengan suasana mendadak genting ini. Alex mencoba menenangkan, tetapi Rani mulai mengerang kesakitan.
"Engghhh... Alex! Rasanya... makin sakit!" Rani berbisik, terengah dengan tubuh yang berguncang di kursi.
Keringat dingin mengucur di keningnya. Ia menggigit bibir, menahan nyeri yang semakin kuat, sementara tangan Alex mencengkeram kemudi dengan tegang. Mereka terjebak di jalanan yang padat, dan tanda-tanda bahwa Rani akan segera melahirkan tampak semakin jelas.
"Rani, dengarkan aku," kata Alex sambil mencoba mengatur napasnya. "Kau kuat, oke? Tahan sebentar lagi, kita akan segera keluar dari kemacetan ini..."
Namun, Rani mulai menggeleng dengan lemah. "Akkhhh... Aku tak bisa menahan lagi, Alex..."
Rani mengerang dan mencengkeram kursi dengan keras, matanya terpejam rapat. Tubuhnya bergetar hebat saat kontraksi semakin intens. "Huhh... huhhh... mulasnya... makin kuat... Enggghhh!"
Anak mereka di belakang terus merengek, menambah ketegangan di dalam mobil. Alex mulai panik, tahu bahwa ia mungkin tak sempat membawa Rani ke rumah sakit tepat waktu.
Akhirnya, Alex menarik mobil ke pinggir jalan dan menoleh ke arah Rani. "Rani... kita harus lakukan ini di sini. Aku akan membantumu."
Rani membuka mata perlahan, pandangannya buram karena nyeri yang terasa makin tak tertahankan. "Alex... tolong... aku tak sanggup lagi... akkghhh!"
Dengan napas terengah, Alex mencoba mengingat apa yang pernah ia pelajari tentang persalinan. Dia berusaha menenangkan Rani sambil menggenggam tangannya erat, memberinya dukungan. "Kau kuat, Rani. Aku di sini. Tarik napas dalam-dalam, dan keluarkan perlahan... kita akan lakukan ini bersama."
Rani berusaha mengatur napasnya meski tubuhnya terguncang oleh rasa mulas yang semakin hebat. "Engghhh... Alex... kepalanya... aku bisa merasakannya... huhhh... huhhh..."
Rani mengejan sekuat tenaga, tetapi kepalanya tampaknya sulit untuk keluar. Setiap kali Rani mengejan, bayi itu hanya sedikit terdorong, namun terasa kembali masuk. Frustrasi dan rasa sakit bercampur dalam batinnya. Rani mengerang, memukul-mukul kursi dengan tangannya sambil mencoba lagi.
"Akkhhhh! Kepalanya... besar sekali... huhhh... aku tidak kuat, Alex..."
Alex menggenggam tangan Rani lebih erat. "Kau bisa melakukannya, Rani. Tarik napas lagi, dan keluarkan perlahan. Kita hampir sampai, sayang."
Alex mencoba tetap tenang saat membantu Rani yang semakin sulit menahan rasa sakit. Rani meremas tangannya erat, matanya memejam dengan kening berkerut penuh keringat.
"Alex... enngghhhh... sakitnya... perih sekali... huhhh... huhh...," erang Rani, tubuh mungilnya menggigil menahan gelombang kontraksi yang semakin intens.
"Tarik napas dalam-dalam, Rani. Kau bisa melewatinya. Aku di sini, bersamamu," ucap Alex dengan lembut, meski di dalam hatinya penuh ketegangan.
Rani mencoba, tetapi setiap tarikan napas terasa sesak, seolah tubuhnya dipaksa mengerahkan tenaga yang tak ia miliki. Dengan napas tersengal-sengal, ia berkata, "Akkhhh... engggghh... Alex... aku tak kuat... mulassss... besar sekali anak ini..."
Mendengar itu, Alex merasakan sesak di dadanya, mengetahui bahwa tubuh besar dan tegapnya mewariskan fisik yang sama pada anak mereka. Anak itu kini membawa beban tersendiri pada tubuh kecil Rani, yang mencoba untuk melahirkan seorang bayi dengan tubuh besar, di dalam ruang sempit mobil yang hanya dipenuhi dengan ketegangan.
"Aku tahu, sayang... tapi kau kuat, Rani. Kau pasti bisa," Alex menggenggam tangannya lebih erat lagi, berharap bisa memberi kekuatan yang lebih pada Rani.
Rani menggigit bibirnya, merasakan kontraksi yang semakin parah. "Ennggggh... perihhh... huhhh... kepalanya... besar sekali, huhh... huhhh..." Rani mengejan sekuat tenaga, tetapi terasa seolah kepala bayi hanya sedikit maju, lalu masuk kembali. Frustrasi melanda dirinya, dan air mata mulai mengalir di pipinya.
"Tidakkk... kenapa... huhhh... huhhh... masuk lagi, huhh... akh... aku tak sanggup, Alex... sakit sekali..." Rani menangis, tubuhnya melemah di kursi penumpang sambil menggigit bibir menahan jeritannya.
Alex mengusap keringat di wajah Rani dengan penuh sayang, walau hatinya pun penuh kecemasan. "Ayo, sayang... kita hampir sampai. Satu kali lagi, Rani. Kau pasti bisa."
Rani menarik napas dalam-dalam, merasakan kontraksi berikutnya datang seperti gelombang besar. Ia menggertakkan giginya, bersiap mengejan lagi. "Huhhh... enngggghhh... Akkhhhhh... perihhhh... mulassss!"
"Engghhh... huhhh... sakit sekali... mulasss..." Rani terengah-engah, tubuhnya bergetar hebat setiap kali ia berusaha mengejan lagi. Setelah beberapa percobaan yang menyakitkan, akhirnya kepala bayi mulai keluar perlahan.
"Akkghhh... huhhh... Alex... kepalanya... hampir keluar..." Rani terisak pelan, merasakan kelegaan sejenak.
Namun, ketika kepala bayi akhirnya berhasil keluar, bahunya tersangkut. Rani merasakan kepanikan kembali menyergap. Rasa sakitnya semakin menjadi, dan ia mulai merasa kehabisan tenaga.
"Akkhhhh! Bahunya... huhhh... besar sekali, tak bisa... huhhh... keluarr!"
Tangisan anak pertama mereka terdengar di kursi belakang, menambah suasana penuh kegentingan. Rani merasa hampir putus asa, tetapi Alex kembali membantunya dengan penuh kasih.
"Rani, tarik napas lagi, kau pasti bisa. Sekali lagi, aku tahu kau kuat. Aku tak akan pergi ke mana-mana," bisik Alex dengan lembut, mencoba menguatkan hatinya sendiri.
Dengan napas terengah, Rani mengejan lagi, meskipun tubuhnya terasa hampir ambruk. "Akkhhh... huhhh... sakitnya, Alex... engggghhh... perih sekali... huhh..."
Oekkk oekkk
Akhirnya, dengan satu dorongan kuat dan penuh perjuangan, bahu bayi itu akhirnya berhasil keluar, diikuti tubuh mungil yang langsung disambut oleh Alex. Tangisan bayi memenuhi ruang sempit mobil itu, dan Rani tersungkur lemas di kursi, air mata kelegaan mengalir di pipinya.
Alex menatap bayi itu dengan hati yang tersentuh. Ia memeluk Rani, yang tampak sangat lelah tapi bahagia. "Kau berhasil, sayang... kau luar biasa."
Rani tersenyum lemah, memandang bayi yang digendong Alex. "Anak kita... Alex..."
Di tengah kelelahan yang luar biasa, Rani akhirnya merasakan kebahagiaan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
Tamat
KAMU SEDANG MEMBACA
Love and Birth
Short StoryCerita pendek kisah cinta hingga kelahiran buah hati mereka