Rian memandang ke luar jendela kantornya, melihat pemandangan Jakarta yang dipenuhi gedung-gedung tinggi. Di balik semua kesuksesannya sebagai CEO di perusahaan properti terkemuka, ada sesuatu yang tak bisa ia hapus dari pikirannya. Sosok gadis desa yang selalu muncul dalam ingatannya. Siti.
Padahal, awalnya ia hanya ingin melupakan gadis itu. Dalam benaknya, Siti hanyalah sebuah pelarian sesaat, hanya sebatas kisah singkat yang tak seharusnya berlanjut. Tapi, semakin ia mencoba menyingkirkan bayangan Siti, semakin dalam kenangan itu mengendap di sudut pikirannya. Senyum hangat gadis itu, caranya berbicara yang penuh kesederhanaan, dan ketulusan yang ia tunjukkan saat mereka menghabiskan waktu bersama. Semua itu terus menghantui.
Lalu, pada hari yang tak terduga, sebuah surat datang ke kantornya. Surat yang merubah semuanya.
Surat itu dari Siti. Tangan Rian bergetar saat membaca surat yang hanya berisi beberapa baris singkat, tapi memiliki dampak besar. Siti memberitahukan bahwa ia telah melahirkan seorang anak—buah hati mereka. Wajah Rian memucat. Siti tidak menginginkan apa pun darinya, bahkan tidak memintanya untuk kembali. Tapi bagi Rian, isi surat itu lebih dari sekadar kabar. Ia merasa ada sesuatu yang harus ia tebus, sesuatu yang lebih dari sekadar tanggung jawab.
Ia memutuskan untuk pergi ke desa itu, tempat di mana segalanya dimulai.
Saat Rian tiba di depan rumah sederhana Siti di desa, hatinya berdebar tak menentu. Saat Siti membuka pintu, tatapan mereka bertemu, dan Rian seolah terpaku. Di sana, dalam pelukan Siti, ada seorang bayi mungil yang menatapnya dengan rasa ingin tahu.
"Rian," kata Siti pelan, matanya memancarkan perasaan yang bercampur aduk.
Rian mendekat, mengulurkan tangannya ke arah bayi yang tak bisa ia bayangkan sebelumnya: putranya, Arman.
"Aku... aku ingin bertanggung jawab," kata Rian dengan suara pelan, penuh ketulusan. "Maafkan aku, Siti. Aku terlalu buta untuk melihat apa yang sebenarnya penting bagiku."
Siti tersenyum kecil, meski air mata menggenangi matanya. "Arman adalah kebahagiaan terbesar yang aku miliki, dan kini kau ada di sini... itu sudah cukup untukku," ucap Siti.
Rian merasakan dorongan kuat untuk memeluk Siti dan Arman. "Aku berjanji, Siti," ucap Rian dengan nada mantap. "Aku akan mencintai kalian lebih dari apa pun di dunia ini. Aku ingin hidup bersama kalian, membahagiakan kalian. Aku ingin menikahimu, Siti."
Setelah Rian dan Siti menikah, mereka pindah ke Jakarta dan memulai kehidupan baru bersama Arman. Rian yang dulu merasa hidupnya sudah penuh dengan kemewahan dan perhatian, kini menyadari bahwa kebahagiaan sejatinya ada pada keluarga kecilnya. Setiap pagi, dia menyempatkan diri untuk menemani Arman bermain sebelum berangkat ke kantor. Saat Arman tersenyum, seolah semua luka masa lalunya terobati.
"Rian, kamu tidak perlu selalu mengorbankan waktumu untuk kami," kata Siti suatu sore saat mereka duduk di ruang tamu, melihat Arman tertidur di pangkuannya.
"Tapi aku ingin," jawab Rian lembut, memegang tangan Siti. "Aku ingin kau tahu bahwa kalian adalah prioritas utamaku sekarang. Aku tidak akan pernah meninggalkan kalian lagi."
Waktu berlalu, dan kehidupan keluarga mereka kian berwarna. Setiap malam sebelum tidur, Rian akan membisikkan janjinya kepada Siti. "Aku akan selalu ada untukmu dan anak-anak kita, Siti. Tidak akan ada lagi hari-hari yang kau lalui sendirian. Ini janji hidupku."
Kehadiran Arman yang ceria di tengah-tengah mereka membuat rumah mereka terasa hangat. Rian bahkan sering mengajak Siti dan Arman berjalan-jalan, memperlihatkan kebahagiaan keluarganya kepada teman-teman dan koleganya, bangga bahwa keluarganya kini lengkap.
Suatu pagi, Siti tampak agak pucat dan lemas. Ketika mereka pergi memeriksakan keadaannya, dokter memberi kabar yang mengejutkan: Siti sedang mengandung lagi, dan kali ini mengandung anak kembar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love and Birth
Storie breviCerita pendek kisah cinta hingga kelahiran buah hati mereka