Rani menghela napas panjang, menatap kosong ke cangkir kopi yang dipegangnya. Pikirannya masih penuh dengan kejadian malam itu—malam yang penuh kekeliruan dan kebingungan. Alex, majikannya, tak sadarkan diri karena alkohol, dan entah bagaimana, peristiwa itu terjadi begitu saja. Pagi harinya, begitu sadar, Alex malah menuduhnya memanfaatkan situasi, mengeluarkan kata-kata yang tak pernah bisa Rani lupakan.
"Jangan kira aku bakal bertanggung jawab, Rani!" kata Alex dingin, matanya memandang Rani dengan penuh kecurigaan. "Kau pikir aku ini bodoh, ya? Sengaja kau perdaya aku demi keuntunganmu sendiri?"
Dengan tubuh masih terbalut selimut karena tidak ada sehelai benangpun dibaliknya Rani terdiam, hatinya perih mendengar tuduhan itu. "Saya tidak pernah berniat seperti itu, Tuan," ucapnya pelan.
"Kau pikir aku percaya?" Alex menyeringai sinis. "Perempuan kampung seperti kamu akan melakukan apa saja untuk mengangkat derajat!"
Hari demi hari berlalu, dan Rani tetap bekerja di rumah itu dengan tekad untuk menyimpan semua ini dalam hati. Namun, takdir rupanya punya jalan lain. Dua bulan setelah kejadian itu, Rani mulai merasa tubuhnya lemah, mual di pagi hari, dan sering pusing. Sampai akhirnya ia izin untuk pergi ke klinik terdekan dan dokter memberi kabar yang menggetarkan hati.
"Kau mengandung, Rani."
Air mata Rani mengalir. Dalam kondisi yang serba sulit ini, dia tahu, ia tidak bisa kembali ke desanya dengan membawa aib. Keluarga dan warga desa pasti akan mencemoohnya. Akhirnya, ia memutuskan untuk menyembunyikan kehamilan ini. Dia akan mengatakan bahwa anak ini adalah anak dari suaminya yang bekerja jauh di luar kota. Nama suami itu hanyalah rekaan, tetapi cukup membuat orang tidak lagi bertanya.
Kabar kehamilannya akhirnya diketahui oleh Alex. Namun, bukannya peduli, ia malah semakin menyakiti hati Rani.
"Aku tidak peduli anak siapa itu," kata Alex dengan nada merendahkan. "Tapi kau tetap bekerja di sini. Jangan coba-coba kabur, mengerti?"
Rani mengangguk. Dia tetap menjalankan tugasnya, sambil menahan semua beban dan ejekan Alex yang terus menyalahkannya.
***
Rani sudah merasakan nyeri itu sejak tengah malam. Setiap kontraksi datang seperti gelombang yang menghantam tubuh mungilnya, semakin kuat dan semakin sering. Awalnya, ia berpikir rasa nyeri itu bisa diatasi dengan beristirahat, namun seiring waktu, rasa mulas semakin tak tertahankan. Akhirnya, ia berbaring di lantai kamar sempitnya, menggigit bibir menahan sakit, merasakan tubuhnya hampir tak mampu menghadapi rasa sakit yang luar biasa.
"Aduhhh... uh... huhhh... Tuhan..." bisiknya, wajahnya penuh keringat dan napasnya tersengal-sengal. Tangannya mencengkeram tepi ranjang dengan keras, tubuhnya melengkung mengikuti gelombang nyeri yang terus mendera tanpa henti.
Bayinya yang dikandung adalah darah daging Alex, yang bertubuh tinggi dan tegap. Rani sadar, bayi yang tumbuh dalam perutnya ini mungkin mewarisi postur tubuh besar seperti ayahnya, sehingga ia tahu proses melahirkan akan sangat sulit. Namun, ia tidak menyangka akan sesakit dan seberat ini.
Ketika dorongan yang lebih kuat datang, Rani tahu sudah waktunya. Dia harus melahirkan bayinya sekarang, sendirian di dalam ruangan kecil itu. Seluruh tubuhnya terasa remuk, setiap sendi seolah ingin menyerah, tetapi tak ada pilihan lain.
"Engghhh... Tuhan...!" erang Rani, mengumpulkan sisa tenaga untuk mulai mendorong. Kakinya bergetar hebat saat ia mencoba mengeluarkan bayinya. Namun, saat kepala bayi mulai turun, terasa sangat besar dan sulit melewati jalan lahir. Setiap kali Rani mencoba mendorong, kepala bayi seakan hampir keluar, tapi segera masuk kembali begitu dorongannya melemah.
"Akkhhh... enggghhhh... uh... besar sekali... huhh..." Rani menggigit bibir, air mata membasahi pipinya saat rasa sakit terus menggerogoti tubuhnya. "Mulasss... sakit sekali... tolong... ahhh..."
Rasa sakit luar biasa yang menahannya membuat tubuh Rani hampir tak kuat. Ia berbisik dalam keputusasaan, "Tidak... huhhh... huhhh... kenapa masuk lagi... huhhh..." Tubuhnya lemas, dan pandangannya mulai berkunang-kunang. Namun, di tengah rasa putus asa, ia tahu ia tak bisa menyerah.
Dengan sekuat tenaga, Rani mengatur napasnya, mencoba mengejan lagi, tetapi sakitnya semakin menjadi-jadi. "Ennghhhh... Tuhan... Tuhan... huhhh... huhh..." Suaranya hampir serak karena berteriak, dan setiap dorongan terasa tak kunjung berhasil.
Namun, Rani menggertakkan giginya, bersumpah dalam hati untuk mengeluarkan bayi ini, tak peduli berapa besar rasa sakit yang harus ia alami. Dengan sisa kekuatan yang ada, ia mengejan sekali lagi, "Akkhhh... huhhh... enggghhhh... keluarlah... huhhh..." Kali ini, kepala bayi mulai menerobos keluar, tetapi tetap terasa sangat sulit karena besarnya.
Rani semakin frustrasi, merasa tubuhnya benar-benar habis tenaganya, tetapi ia terus berjuang, setiap kali mencoba mendorong kepala bayi lebih jauh.
"Enggghhhhh engghhhhhhhhh sakiitt AKKHHHH"
Plop
"Akkhhh... sakittt... huhhh... uh... bahunya..." erangnya, menyadari bahwa bahu bayi terjebak. Rasa sakit yang mengiris membuat tubuhnya kejang, dan Rani mulai merasa takut akan nyawanya.
"Ennghhh... keluarlah... Tuhan, tolong..." Rani menutup matanya, membiarkan air mata mengalir, sementara rasa sakit seolah tak berujung. Bahu bayi tetap tertahan, tidak bisa keluar, seakan tubuh mungilnya tak mampu mengatasi ukuran bayi yang lebih besar dari yang ia duga.
Di tengah keputusasaan itu, Rani menarik napas dalam-dalam, meski dadanya terasa sesak. Dengan isak tangis dan harapan terakhir, ia mengejan lagi dengan seluruh kekuatannya. "Enggghhh... ayo... keluarlah... ahhhh... huhhh... huhhh..."
Oeekk oeekk
Dengan dorongan terakhir yang penuh perjuangan, bahu bayi akhirnya keluar perlahan, dan seketika tubuh mungilnya pun menyusul, melepaskan diri dari tubuh Rani yang penuh peluh dan air mata. Tangis bayi langsung memenuhi ruangan, mengalahkan keheningan dan menandai akhir dari perjuangan panjang Rani.
Rani tersungkur, tubuhnya terasa remuk, tetapi hatinya penuh keharuan saat ia memeluk bayi yang baru saja dilahirkannya. Sakitnya perlahan memudar, tergantikan oleh kehangatan dan cinta yang meluap saat menatap wajah bayinya. Air matanya mengalir deras, bukan lagi karena rasa sakit, tetapi karena kebahagiaan yang tak terlukiskan.
***
Keesokan paginya, kabar kelahiran bayi itu sampai di telinga Alex. Saat melihat bayi itu, sesuatu di dalam hatinya bergemuruh, meski ia mencoba mengabaikannya. Bayi itu tampak rapuh namun menakjubkan, dengan mata bulat yang mengingatkannya pada kenangan yang ia berusaha lupakan.
Namun, Alex berusaha menutup semua itu dengan sikap dinginnya. Ia menatap Rani dan berkata dengan nada kaku, "Jangan kira aku akan mengakui anak itu, Rani. Kau tidak akan bisa memperdayaku."
Rani menunduk, menahan air mata. Hatinya sudah cukup hancur oleh semua perlakuan ini.
Namun, seiring waktu berlalu, Alex tanpa sadar sering memperhatikan bayi itu. Terkadang, ketika tidak ada orang, dia mendekati tempat tidur bayi, menatap wajah mungil itu dalam-dalam, seolah ingin menemukan bagian dari dirinya di sana. Terkadang ia melihat bayangan dirinya saat masih kecil dalam diri bayi itu. Perasaan hangat yang asing dan tak bisa ia kendalikan menyelusup di hatinya.
Suatu malam, saat Rani terlelap, Alex tanpa sadar menghampiri bayi itu dan membelai pipinya dengan lembut. Bayi itu menggeliat, membuka mata dan menatap Alex dengan tatapan polos. Sejenak, ada keheningan di antara mereka.
"Apa kau... anakku?" Alex berbisik lirih, perasaan yang kompleks berkecamuk di dadanya.
Namun, begitu menyadari apa yang ia lakukan, Alex segera mengangkat dagunya dan menarik diri. Dengan wajah dingin, ia kembali menjaga jarak, mencoba menyangkal perasaan yang mulai tumbuh itu.
Di dalam hatinya, Alex tahu bahwa dia tak bisa mengabaikan bayi ini. Ada ikatan yang tak terelakkan, yang membuatnya semakin sulit untuk bersikap seperti dulu. Tapi ia tetap bertahan dalam egonya, menyangkal, dan berusaha keras untuk menutupi perasaannya, bahkan dari dirinya sendiri.
***
Masih mau lanjut ga gaiss?
KAMU SEDANG MEMBACA
Love and Birth
Short StoryCerita pendek kisah cinta hingga kelahiran buah hati mereka