7. Penyesalan yang Terlambat

2.3K 24 1
                                    

Laras menjalani hari-harinya dengan merawat bayi perempuannya yang baru lahir, yang ia beri nama Nadia, yang bermakna harapan. Meski hidupnya kini dipenuhi rasa sakit dan kehampaan, Nadia adalah satu-satunya harapan dalam hidup Laras. Bayi itu mungil dan cantik, dengan senyum yang kadang muncul di wajahnya yang polos, meski hanya sesaat. Laras berusaha keras menjadi ibu yang baik bagi Nadia, meskipun Bayu tidak pernah membantunya atau sekadar memperhatikannya dengan penuh kasih sayang.

Setiap hari, Sari datang ke kamar Laras membawa botol untuk memompa ASI. Laras mengira bahwa semua ini hanya untuk memenuhi kebutuhan Nadia.

"Sari, apa benar ini cukup untuk Nadia?" tanya Laras saat memandang botol ASI yang sudah terisi penuh.

"Jangan khawatir, Bu. Insya Allah, ini cukup untuk Nadia," jawab Sari sambil tersenyum, berusaha menyembunyikan tujuan sebenarnya dari ASI itu.

Laras mengangguk dan melanjutkan memompa ASI. Ia tak pernah menyadari bahwa sebagian dari ASI tersebut diam-diam diberikan kepada seorang bayi laki-laki, anak keduanya yang dirawat secara diam-diam di tempat lain oleh orang suruhan Bayu. Bayu, yang masih terperangkap dalam dendam dan kebencian, menyembunyikan keberadaan anak itu dari Laras, meyakini bahwa rencana ini adalah cara untuk menghukum wanita yang ia salahkan atas nasib keluarganya.

Namun, seiring waktu, Laras mulai memperhatikan sesuatu yang aneh pada Nadia. Suatu malam, di tengah keheningan, Nadia tiba-tiba menangis keras tanpa henti. Wajahnya memerah, dan saat Laras memeriksa tubuhnya, dia mendapati suhu tubuh bayi itu sangat panas. Kepanikan mulai merambat di hati Laras.

"Nadia... ada apa, sayang? Kenapa menangis seperti ini?" Laras mencoba menenangkan Nadia dengan pelukan lembut dan nyanyian pelan, tetapi bayi itu tetap menangis, wajahnya semakin terlihat kesakitan.

Laras tidak tahu harus bagaimana lagi. Tak ada pilihan lain, ia akhirnya pergi menemui Bayu di ruang kerjanya, berharap suaminya bisa memberikan bantuan atau setidaknya solusi. Bayu menoleh, melihat Laras yang tampak ketakutan dan putus asa dengan bayi di gendongannya yang terus menangis.

"Bayu, tolong. Nadia sakit... dia panas sekali... dan dia tidak berhenti menangis..." Laras memohon, suaranya parau. "Aku sudah mencoba segalanya, tapi dia tetap menangis. Tolong, Bayu..."

Bayu hanya mengerutkan dahi, dan bukannya menenangkan, ia justru menegur Laras dengan dingin.

"Bukankah seorang ibu seharusnya punya naluri untuk tahu apa yang dibutuhkan anaknya? Apa kamu bahkan tidak bisa menenangkan anakmu sendiri?" sindir Bayu, membuat Laras semakin putus asa.

"Tapi... aku sudah mencoba segalanya..." suara Laras mulai bergetar, hampir menangis. "Aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi padanya..."

Bayu terdiam, memandang bayi yang masih menangis itu. Meskipun ia tetap bersikap dingin, ada sesuatu yang lain dalam sorot matanya—sebuah kepanikan yang ia coba sembunyikan. Setelah sesaat, ia akhirnya memanggil salah satu bawahannya dan memberi perintah tegas.

"Bawa bayi ini ke rumah sakit. Pastikan dia diperiksa," kata Bayu kepada bawahannya tanpa menoleh ke arah Laras.

Laras menatap Bayu penuh permohonan. "Bayu... biarkan aku ikut. Aku tidak bisa membiarkan Nadia pergi tanpa aku di sisinya..."

"Tidak," jawab Bayu singkat. "Kau tinggal di sini saja. Nadia akan baik-baik saja. Mereka yang lebih tahu apa yang harus dilakukan."

Laras merasa jantungnya remuk, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa selain menatap bayinya yang dibawa pergi. Dia hanya bisa berdoa agar Nadia baik-baik saja.

Malam itu, Laras tak bisa tidur. Ia duduk di kamar, menanti kabar dengan dada yang berdebar-debar dan hati yang terus dipenuhi kecemasan. Berjam-jam berlalu, namun tak ada kabar datang, hingga akhirnya fajar menyingsing. Saat pintu kamarnya diketuk, Laras bergegas membuka, berharap mendengar kabar baik.

Love and BirthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang