Di tepi hutan yang rimbun, hiduplah seorang gadis muda bernama Siti. Dia tinggal di sebuah gubuk kecil bersama neneknya, yang kini telah tiada. Kesedihan menyelimuti hari-hari Siti, tetapi kenangan indah bersama neneknya membuatnya tetap kuat. Setiap sore, Siti sering berjalan di antara pepohonan, mengingat cerita-cerita yang diajarkan neneknya tentang kehidupan, cinta, dan harapan.
Suatu hari, saat Siti sedang mengumpulkan jamur di hutan, dia melihat seorang pemuda berdiri di tepi sungai. Pemuda itu tampak asing, dengan mata cerah dan senyum hangat yang membuat jantung Siti berdebar. Dia adalah Rian, seorang pemuda dari kota yang sedang berlibur di desa tersebut.
"Wah, jamur ini cantik sekali!" seru Rian, mendekati Siti. "Kau tinggal di sini sendirian?"
"Ya, bersama nenekku... eh, sekarang sendirian," jawab Siti, sedikit melankolis. Dia tidak ingin terlihat lemah di hadapan Rian.
Rian mengamati wajah Siti yang bersinar, meski ada kesedihan di matanya. "Hutan ini sangat indah, tapi pasti terasa sepi."
Siti mengangguk. "Setiap hari aku mengenang nenekku. Dia selalu bercerita tentang keajaiban alam ini."
"Dia pasti orang yang luar biasa," kata Rian sambil tersenyum. "Aku rasa kau juga luar biasa, bisa bertahan di sini."
Sejak pertemuan itu, mereka sering bertemu di hutan. Rian mengajak Siti menjelajahi tempat-tempat tersembunyi, sementara Siti bercerita tentang kehidupan sehari-harinya. Percakapan ringan itu perlahan-lahan mengubah hubungan mereka menjadi sesuatu yang lebih dalam.
"Bagaimana rasanya hidup di kota?" tanya Siti suatu sore, ketika mereka duduk di tepi sungai, menikmati suara air mengalir.
"Penuh kesibukan dan hiruk-pikuk, tapi tidak seindah hutan ini," jawab Rian dengan tulus. "Di sini, aku merasa tenang."
Siti menatap Rian, merasakan getaran yang aneh di hatinya. "Kau membuatku merasa tidak sendirian," ujarnya pelan.
Hari-hari berlalu dan perasaan mereka tumbuh semakin dalam. Cinta mulai bersemi di antara mereka. Mereka sering berbagi cerita, harapan, dan impian, menjadikan setiap pertemuan penuh makna. Namun, kebahagiaan itu tak bertahan lama. Rian harus kembali ke kota untuk melanjutkan studinya.
"Siti, aku akan merindukanmu," katanya dengan tatapan serius, saat mereka berdiri di tepi hutan pada hari terakhir Rian di desa.
"Aku juga, Rian. Tapi kita akan bertemu lagi, kan?" harap Siti, meski hatinya terasa berat.
"Pasti," jawab Rian, mencoba meyakinkan diri sendiri. Mereka saling berpelukan, mengikat janji bahwa cinta mereka akan bertahan meski jarak memisahkan.
Setelah Rian pergi, Siti merasakan kehampaan yang mendalam. Hutan yang dulu terasa penuh kehidupan kini hanya menyisakan kesunyian. Dia sering merindukan tawa dan senyum Rian. Tak lama setelah kepergian Rian, Siti mulai merasa tidak enak badan. Mual dan lelah terus menghantuinya.
"Siti, kau tidak baik-baik saja?" tanya salah satu tetangga saat melihatnya lesu di kebun.
"Tidak apa-apa, Bu. Hanya sedikit lelah," jawab Siti, berusaha menyembunyikan rasa khawatir.
Namun, saat bulan berganti, Siti menyadari bahwa dia hamil. Hati kecilnya bergetar. "Bagaimana bisa ini terjadi?" gumamnya. Rian sudah pergi, dan kini dia harus menghadapi kenyataan ini sendirian.
Malam-malam terasa semakin panjang. Rasa mual dan nyeri datang silih berganti. Siti memikirkan Rian, berharap dia di sini untuk membantunya. Suatu malam, saat bulan purnama bersinar cerah, rasa sakit mulai datang. Dia merasakan kontraksi pertamanya.
"Akkhhh...!" teriak Siti, merasakan tekanan yang tidak tertahankan. Dia mengingat semua cerita neneknya tentang melahirkan, berusaha menenangkan diri.
"Siti, kamu harus kuat," bisiknya pada diri sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love and Birth
ContoCerita pendek kisah cinta hingga kelahiran buah hati mereka