12

11 0 0
                                    

Apa aku juga akan mati Kak?"

"Tidak."

"Bagaimana kau bisa mengatakan itu, sedangkan aku tahu itu, Kak? Jangan menipu ku!!"

"Jisung..." Mark mendesah pelan. Menatap Jisung penuh, yang sedari tadi sibuk menyeka air matanya. Pemuda itu tidak berhenti menangis.

"Tentang kematian itu, hanya Tuhan yang tahu. Selebihnya kita bisa berusaha, kalau kau mau berusaha dan berkeyakinan untuk sembuh, kau pasti baik-baik saja, Jisung. Mereka yang meninggal, itu memang sudah menjadi garis takdir mereka. Kau paham?" Mark berujar, berusaha membuat Jisung mengerti.

"Tapi Kak-" Suara Jisung tertahan, dan terdengar bergetar.

"Salah satu sumber penyakit itu adalah pikiran. Coba jangan berpikir jauh lebih dulu, Jisung. Tenang, okey?"

"Bagaimana aku tenang, Kak?" Jisung mendongak, memperlihatkan wajah kacaunya.

"Kau sudah memberitahukannya dengan keluargamu?"

Jisung menundukkan kepalanya. Membuat Mark menyimpulkan jika jawaban Jisung adalah belum.

Mark menarik nafas lagi. "Jujur aku marah, Jisung. Ini bukan masalah yang main-main.Coba katakanlah dengan mereka. Aku sudah bilang kan, itu akan membuat sedikit beban mu berkurang. Apa perlu aku yang memberitahu?" Dokter muda itu berusaha memilih intonasi yang tepat agar tidak menyentak. Tapi terdengar ketegasan di sana.

"Jangan-"

"Kenapa?"

"Itu tidak mungkin."

"Kenapa tidak?"

Jisung mendongak lagi. "Aku belum siap." Pemuda itu menggigit bibir bawahnya.

"Kau harus siap, Jisung. Ini semua demi kebaikan mentalmu juga."

Jisung tidak bisa menjawab lagi, pikirannya mendadak sangat penuh. Ingin meledak.

"Jisung, mari ku periksa lagi." Mark memilih memeriksa keadaan Jisung, dibanding memaksa Jisung mengatakan yang sejujurnya pada keluarganya. Jika pemuda itu belum ingin, mau bagaimana lagi.

"Apa kau ingin menceritakan sesuatu?"

Jisung membuang napas berat, lalu menggeleng pelan.

"Kalau kau mau, kau bisa menceritakan apapun padaku."

Jisung menatap Mark penuh, entahlah ucapannya tulus atau tidak, tapi Jisung hanya mengangguk.

"Kau bisa menebus resep yang aku buatkan. Kau mengerti, Jisung?"

"Iya."

"Jangan telat minum obatnya."

"Iya, Kak."

Jisung beranjak dari ruangan Dokter Mark dengan pikiran yang kalut. Sampai tidak sadar, jika dia menabrak seseorang.

"Maafkan aku." Ujarnya dengan kepala menunduk.

"Tidak apa- Hey kau? Kau yang di Taman Rumah Sakit kemarin ya?"

Jisung menatap penuh tanya Pemuda di hadapannya, sambil mengingat-ingat sesuatu. Lalu tidak lama kemudian, dia mengangguk.

Jisung kemudian membungkukkan tubuhnya, memberi hormat lalu melanjutkan langkahnya.

"Wajahnya sayu sekali. Ada apa dengannya?"

.

.

"Kau kembali lagi, Jisung?? Ah kupikir Jisung."

Mark melepas kacamata yang bertengger menutupi kedua matanya, ketika seseorang memasuki ruang kerjanya.

"Jisung maksudmu yang barusan keluar tadi, Hyung?"

"Our Blues" || NCT DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang