Pada malam yang sunyi ini udara terasa dingin, seakan menusuk kulit. Dengan ditemani detakan jarum pada arloji yang melingkar di pergelangan tangan kekarnya.
Kedua netra tajam milik Na Jaemin itu tak berhenti mengamati sebuah surat yang berada di genggamannya.
Sebuah surat pemberhentiannya. Ternyata, Papahnya itu tidak pernah main-main.
Ngomong-omong, bukankah dia sudah tidak dianggap Anak oleh nya? Jadi maaf, maksutnya Tuan Jaehyun akan selalu pada ketetapannya yang tidak bisa diganggu gugat.
Telapak tangan itu meremat erat lembaran putih itu hingga tak berbentuk, menyalurkan gejolak amarah yang tak dapat dikeluarkan.
"Aku gagal." Gumamnya, sambil melirik sebuah amplop di pangkuannya dengan tatapan nanar.
Mungkin nominal di dalamnya itu bisa dikatakan besar. Tapi besarannya tidak mampu menggantikan bagian hidupnya yang telah hilang.
"Berita terkini, Seorang pemuda anak dari CEO Na Jaehyun dikabarkan telah dikeluarkan dari bagian di Perusahaan miliknya. Bukankah itu menyedihkan, mengingat Na Jaemin yang sebentar lagi akan menggantikan posisi CEO? Pemirsa, hal apa yang mendasari konflik tersebut?"
Satu kata yang mewakilkan perasaan Jaemin. Muak.
"Berita tidak berbobot." Jaemin berucap sambil berdiri dari duduknya, menggunakan sisa-sisa tenaganya. Akan menuju tempat dimana akhir-akhir ini menjadi tempat favorit yang ia kunjungi.
"Tidakkah ini menyedihkan, Jaemin?"
"Apa yang kau dapat? Kegagalan?"
"Itu karena kau lemah!"
"Lemah!"
"Dasar lemah!"
Hentikan......
Tanpa sadar Jaemin mengerang mendengar suara-suara aneh yang muncul dengan tiba-tiba.
Mendapat tatapan aneh dari orang-orang yang berlalu, dan melihatnya."Kasihan sekali dia." Mungkin akan seperti itu kalimat yang mereka ucapkan saat melihat Jaemin.
"Tapi mungkin itu benar." Jaemin kembali melanjutkan perjalanannya dengan tatapan kosong. Tidak peduli jika sesuatu yang buruk akan terjadi nanti.
Pikirannya sangat berisik hari ini."Jaemin-shi. Waktumu tidak banyak lagi."
Detak jantungnya bertalu dengan cepat kali ini. Melupakan satu fakta yang teramat penting, dan malah melakukan hal bodoh yang sama sekali tidak berfaedah.
.
.
.
.
.
.
Suara nyaring yang berasal dari Ruang Tengah di Rumah Jisung itu tidak terbantahkan lagi. Sampai membuat acara bersantainya menjadi buyar.
Hampir saja Jisung melompat, saking terkejutnya. Diikuti dengan degup jantungnya yang mulai bertalu cepat, disertai dengan sedikit nyeri di bagian dada nya.
"Bibi, kucingnya." Jisung berucap lirih.
"Maaf Den Jisung, tadi terlepas." Maid itu segera mengambil seekor kucing putih yang menjadi pelaku utama keributan sore ini.
Jisung mendekat, mengambil lembaran foto yang telah berbaur dengan serpihan kaca. Dengan hati-hati, ia mengambilnya. Untungnya fotonya tidak rusak.
Menatap lekat lembaran itu, foto berisi keluarganya dengan formasi lengkap. Yang membuat dada Jisung bertambah sesak melihatnya.