18

28 1 0
                                    

Renjun menatap layar ponsel yang sedari tadi berdering memenuhi kamar miliknya yang sunyi.
Pemuda itu hanya menatap dengan datar layar pipih itu, tanpa berniat mengangkat panggilan.

Mungkin saja si pemanggil di sana sedang menanti jawabannya. Namun, Renjun enggan.

Renjun malah membiarkan dirinya hanyut dalam lamunannya, daripada mengangkat panggilan dari ponselnya itu, yang seperti tidak akan ada henti berdering.

Sepersekian menit kemudian, ponsel yang semula mati kembali menyala lagi, dengan pemanggil yang sama.

Kali ini dengan ragu, Renjun mengangkatnya. Menggeser ikon hijau, membuat panggilan terhubung.
Terdengar suara gaduh dan isakan dari seberang sana.

Renjun khawatir jika ada sesuatu yang buruk terjadi.

"K-kak Renjun, hiks t-tolong."

Tapi rasa khawatir itu dulu, dan tidak berlaku untuk sekarang. Yang ada, Renjun sama sekali tidak peduli dengan isakannya yang semakin terdengar memilukan.

"Berhentilah menghubungiku lagi." Renjun menggigit bibirnya. Tidak percaya dirinya akan mengatakan hal ini.

"Tidak seharusnya orang asing seperti kita menjadi dekat hanya karena aku menolongmu waktu itu."

"Batasan tetap batasan."

"Mulai sekarang, kembali lah seperti awal. Menjadi orang asing yang tidak pernah saling mengenal."

"Cukup ingat pertemuan kita sebagai bagian dari pengalaman saja."

"Tolong, jangan menghubungiku lagi terkait apapun, Na Jisung."

Saat itu juga, setelah sambungan telepon terputus, Renjun membanting ponselnya hingga hancur.
Tidak peduli lagi jika ada sesuatu yang penting di dalamnya.

"Renjun-shi, kami sudah menemukan keberadaan Na Jaemin."

"Siapkan pemberangkatan kita sekarang. Dan batalkan jadwal-jadwalku."

.

.

.

.

.

.

Jisung tidak tahu apa yang terjadi.
Pagi ini, ketika dia sedang mengemasi kamarnya, dadanya terasa begitu sakit. Berkali kali lipat lebih sakit dari biasanya.

Dia membawa dirinya duduk di ranjang, dengan tangan yang terus terusan menekan dadanya, berharap rasa sakit itu berangsur membaik.

Nafasnya mulai memberat. Jisung rasa ini bukan pertanda yang baik. Dia mulai meraba keberadaan ponselnya untuk menghubungi seseorang.

Dan nama Renjun yang saat ini terlintas dalam pikirannya untuk ia mintai bantuan.
Dengan sedikit kesulitan, dia berusaha mencari cari nama Renjun di ponselnya, lalu memanggilnya. Tapi, Renjun tak kunjung menjawab panggilannya.

"K-kak Renjun, hiks- t-tolong aku." Jisung kalah dengan rasa sakitnya, sehingga ia akhirnya menangis dan berbicara begitu lirih saat Renjun menerima panggilannya. Berharap bantuan dari Pemuda di seberang sana.

Tapi, semuanya menghantam Jisung dengan telak. Jawaban Renjun begitu diluar ekspektasinya. Pun, sambungan telepon terputus secara sepihak, tanpa Jisung tahu bagaimana maksud dari setiap kalimat yang Renjun lontarkan.

Soal apa yang sudah terjadi? Kenapa semua begitu cepat, sampai Jisung tidak bisa menemukan jawabannya.

Di tengah-tengah penderitaannya, Jisung berusaha memahami maksud kalimat Renjun beberapa saat lalu.

"Our Blues" || NCT DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang