"Aira, nanti sore temenin Mamimu ke acara resepsi ya?"
Permintaan yang keluar dari bibir Papi langsung membuatku mengurungkan suapanku terhadap oat yang aku jadikan sarapan. Jika ada kegiatan yang tidak aku suka itu adalah pergi kondangan karena aku tidak suka mengenakan kebaya. Ya, disaat banyak wanita merasa kebaya akan membuat mereka berkali-kali lipat lebih cantik karena pakaian indah akan membentuk siluet tubuh mereka dengan sempurna menonjolkan kecantikan khas wanita nusantara, aku mungkin masuk ke dalam spesies aneh yang agak tidak nyaman memakainya.
Sejak kecil aku selalu dipakaikan Mami baju Persit Kartika Chandra versi mini, seringkali pula aku dipakaikan kebaya yang kembar dengan beliau setiap kali Papi ada acara, dan yang membuatku sedikit terima adalah aku tidak suka dengan ketatnya kain jarik yang melilit dan stagen atau korset yang dipakaikan Mami untuk membentuk tubuhku. Benar korset itu membuat tubuhku menjadi proporsional, perut langsung, pinggal kecil, tapi aku sesak.
Dan jika Papi memerintahkanku untuk menemani Mami, maka alamat aku akan mengenakan lagi salah satu koleksi kebaya yang rasanya tidak ada habisnya, serta berjam-jam memasang senyuman palsu kepada semua orang, terjebak juga dalam pembicaraan basa-basi penuh jilatan.
Membayangkan semua hal membosankan itu terasa sangat mengerikan, dengan wajah horor aku menatap Papi, menggeleng keras kepada beliau.
"Nggak mau aaah, Pi. Biar Mami sendiri saja, aku ada photoshoot bantuin Kak Eve!"
Dengan tegas aku menolak, tapi Papi yang sebelumnya sibuk dengan tab beliau membaca berita teruptodate, Bapak Panglima kita satu ini memang anti yang namanya ketinggalan informasi tentang apa yang terjadi di dunia ini.
"Kamu tega biarin Mamimu pergi sendirian? Lebih penting foto-foto itu dibanding Mami?"
Ucapan Papi begitu dramatis, hal yang membuatku sontak memutar bola mataku malas, Papi kalau menyangkut Mami memang sangat menyebalkan. Bucinnya itu loh, ngelebihin anak remaja, bahkan nggak ada sungkannya sama sekali. Makin tua orang lain makin biasa saja tapi tidak dengan Papiku, makin tua, ya makin menjadi-jadilah beliau dalam mencintai Mamiku.
"Kalau begitu Papi saja yang nemenin Mami?" Ucapku balik, jika ada sesuatu yang bisa aku banggakan dari beliau mungkin itu adalah sifat dan sikap menyebalkan beliau yang menurun kepadaku. Beradu argumen dengan beliau adalah hal yang suka untuk aku lakukan. "Katanya cinta, tapi nemenin kondangan hampir nggak pernah! Emang sepenting apa tugas di kantor Papi hari ini? Nggak bisa gitu nemenin satu atau dua jam gitu? Secara pasti ini yang kawin relasi Papi juga."
Mendengarku membalikkan semua kata-kata yang sebelumnya Papiku berikan dua kali lipat lebih menyebalkan, Papi kini benar-benar meletakkan tab-nya dan menatapku yang tersenyum manis ke arah beliau, beliau menggeleng pelan, sepertinya beliau tengah mengumpat di dalam hatinya namun setiap kata yang hendak beliau keluarkan harus beliau tahan berhubung aku adalah putri kesayangan beliau.
"Aira......."
"Yes, Papi."
"Pantas saja kamu nggak mau jadi Kowad, memerintah bukan hal yang cocok buat kamu yang mulutnya nyebelin. Papi nggak bisa bayangin gimana nasib anggota kamu kalau punya atasan secerewet ini. Bisa-bisanya ya kamu balikin omongan Papi."
Aku mengedikkan bahuku dengan acuh mendapati sindiran halus Papi, nggak ada ya namanya baper sama orangtua sendiri. Apalagi aku tahu Papi sangat menyayangiku apapun pilihanku.
"Ya gimana, Papi minta Aira terus yang nemenin Mami, Papinya kapan ada waktu nemenin Mami?"
Masih bersikukuh dengan pendapatku, Papi berdecak keras. Dari dapur sana Mami muncul membawa dua buah gelas jus untuk kami, meski Papi menyediakan ART yang lebih dari cukup untuk mengurus setiap sudut rumah, dalam hal melayani perut Papi pasti Mami akan berusaha untuk melakukannya sendiri.
Memang idaman Mamiku ini, nggak heran jika Papi selalu bilang kalau bahkan Papi rela bangkit dari kematian karena tidak ingin beliau.Kisah cinta beliau berdua membuatku memiliki standar tinggi untuk pasanganku kelak. Sayangnya meski kisah cinta beliau sangat manis, Mami yang mendengar perdebatanku dengan Papi sepertinya merasa tersinggung karena saat beliau menatapku dan Papi, beliau seperti ingin melahapku.
"Udah, nggak usah ada yang nemenin Mami! Papi sama kamu sibuk saja sama kegiatan kalian masing-masing... Mami bisa kemana-mana sendiri! Kalian urus saja urusan kalian masing-masing yang katanya penting itu."
Sontak aku dan Papi saling menatap, pandangan ngeri saling terlempar satu sama lain. Saat Mami mengatakan tidak apa-apa, maka disitulah masalah terbesarnya. Bergegas aku menyantap semua oatku dalam tiga suapan besar dan mendorongnya dengan satu gelas jus yang baru saja Mami sediakan, sebelum akhirnya aku ngibrit pergi sembari mencium Papi dan Mami.
"Salahin Papi saja, Mi! Papi yang ngajarin Aira!"
Salah satu resiko menjadi putri tunggal di dalam sebuah keluarga, kita akan terlibat dalam segala hal, segala beban, urusan orangtua, namun poin plusnya adalah orangtuaku tidak bisa marah kepadaku lama-lama. Senyuman itu mengembang diwajahku membayangkan Papi yang diomeli Papi, pagiku sungguh cerah seperti biasanya.
Pagi yang sangat ramai untuk keluarga Wibawa yang hanya beranggotakan 3 orang.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAIRA
RomanceSaat Tuan Putri kesayangan Sang Panglima yang pecicilan dan manja bertemu dengan Ajudan yang dingin. Aira Sekar, perempuan manja mahasiswa Hubungan Internasional tersebut nyatanya harus menjilat ludahnya sendiri, satu waktu dia pernah berkata jika d...