Disumpahi

689 135 9
                                    

"Kok bisa sih kamu ini punya kulit sebagus ini? Jadi nggak tega buat makeupin. Ya ampun, udah cantik dari sononya sih."

Ucapan yang diberikan oleh MUA yang baru saja bekerjasama dengan Eve membuatku membuka mata, perempuan tersebut mungkin seusia dengan Eve, disaat seharusnya aku tersanjung dengan pujian yang dia berikan, aku justru menatapnya dengan jenuh.

"Nggak usah peres. Memujiku tidak akan memberikanmu keuntungan apapun." Ucapanku mungkin terdengar kejam dan ketus, tapi orang-orang disekelilingku seringkali melakukan hal ini kepadaku, mereka memujiku setinggi langit secara berlebihan hanya untuk mengeruk keuntungan dariku, entahlah, mungkin ini adalah bagian dari pertahanan diriku sendiri yang memiliki trauma karena sering kali dimanfaatkan karena statusku bisa memberikan keuntungan untuk mereka.

Banyak orang baik kepadaku hanya karena aku putri Papiku, dan juga Cucu yang seringkali dibawa Oma dan Opa, hal inilah yang membuatku merasa harus melindungi diriku sendiri sebelum dilukai. Aku suka berinteraksi dengan orang lain dengan catatan orang itu tidak peres dan bersikap normal.
Belum apa-apa MUA ini memujiku secara berlebihan, secara ada dua jerawat hormon muncul di dekat hidung dan jidatku mana mungkin ada mulusnya, jelas kan jika dia hanya ingin menjilat dan aku ingin menghentikan sikapnya tersebut sebelum semuanya semakin menjadi.

Senyuman itu luntur dari wajahnya seketika. Ada kekesalan yang berusaha dia pendam karena semuanya tidak berjalan seperti yang dia harapkan, berusaha seolah tidak terjadi apapun, MUA itu melanjutkan apa yang belum dimulainya. Tanpa ada protes lagi aku mengizinkannya untuk memake-up ku, aku tidak mengeluh atau mengoreksinya, jika ada yang salah atau kurang benar biarkan saja Eve yang menegurnya, tugasku sebagai Muse hanya diam dan melaksanakan konsep yang dipilih Sang Designer yang bekerja sama dengan banyak pihak.

"Ra, ada telepon masuk! Angkat dulu!"

Belum selesai makeup-ku, Eve memanggilku untuk mengulurkan ponselku kepadaku, dia tidak memberitahuku siapa yang menelepon dan saat melihat nama pemanggilnya, aku seketika tersenyum masam.

Kaviandra Kusuma.

Tuan muda keluarga Kusuma yang aku dengar tengah berdinas di Kota Bogor tersebutlah yang meneleponku, namun bukan Kavi yang menjadi fokusku, melainkan Eve yang menunggu disampingku seolah dia tengah menungguku berbicara. Tatapanku memincing kepadanya, dan tepat di depan matanya aku langsung mematikan panggilan tersebut tanpa menjawabnya sama sekali yang membuat Eve langsung menjerit keras.

"Kok lo matiin sih! Siapa tahu ada hal penting, B3go!"

Aku mendesah keras, kedua tanganku bersedekap mendapati kekesalan dari Kakak sepupuku ini. "Ya ngapain diangkat kalau yang ditanyain Kavi bukan aku tapi kamu, Ev! Enak saja dia telepon aku cuma buat nyariin kamu, kamu juga, kamu nyuruh aku ngangkat teleponnya cuma mau denger suaranya kan? Kenapa kalian nggak langsung teleponan aja sih kelen berdua! Kenapa mesti lewat aku? Aku tuh bukan burung merpati pembawa pesan tahu, nggak?!"

Eve ini sudah tahu jika mulutku kalau mendumal nggak ada baik-baiknya tapi bisa-bisanya dia malah sengaja membuat masalah denganku. Wajahnya yang sebelumnya sumringah kini mencibirku.

"Ya kan dia calon suami lo, Ra?! Ya kali gue telponan sama calon laki sepupu gue sendiri."

Lelucon yang sangat tidak lucu ini dilontarkan oleh Eve, membuatku langsung melotot kepadanya. Sejak aku kecil godaan tentang Kavi yang akan dijodohkan denganku memang seringkali aku dengar, aku dulu sama sekali tidak memikirkannya karena ya bisa saja itu omong kosong para orangtua yang basa-basinya kelewatan, tapi pada praktiknya semakin dewasa tidak ada yang aku rasakan kepada Kavi selain perasaan tentang dia yang sudah seperti Kakak laki-laki yang tidak pernah aku miliki secara langsung, alih-alih aku dan Kavi tumbuh perasaan romantis, yang ada Kavi justru dekat dengan Kakak sepupuku ini. Bukan sekedar 'dekat' tapi ada romantisme diantara mereka namun sayangnya entah apa yang ada di dalam otak mungil mereka sehingga mereka tidak bisa bersama.

Ironi bukan, para orangtua selalu berkata jika aku akan dijodohkan dengan Kavi, namun Kavinya sendiri justru maunya sama Eve yang 4 tahun lebih tua darinya. Dan sekarang aku seperti orang bodoh karena menjadi perantara dua sejoli ini untuk bisa saling melepas rindu karena ego mereka tidak mengizinkan untuk saling berkomunikasi secara langsung.

"Nggak ada ya aku sama tuh laki yang sukanya sama cewek yang lebih tua. Aku juga nggak mau sama Hallo Dek, udah cukup seumur hidup aku di kelilingi sama Hallo Dek."

Tepat disaat aku selesai berbicara. Ponselku kembali bergetar menunjukkan nama Kavi Kusuma lagi,
Terkutuklah Kavi Kusuma, pasti dia melihatku tengah berada di butik Eve sampai menerorku seperti ini, tidak ingin menjawabnya aku meletakkan ponselku ke tangan Eve yang langsung menjitakku.

"Gue sumpahin telen ludah sendiri lu, Ra. Nggak cuma kecantol Hallo Dek, lo, lo yang bakal ngejar-ngejar Hallo Dek itu nantinya. Lihat aja nanti.

Ckckckck

Disumpahi dong aku-nya! Ya kali sumpah buruk di wujudin! Amit-amit.

KAIRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang