Kulkas Berkaki

141 45 3
                                    

"Jangan bercanda, Bang Kalla!"

Dengan tegas aku memintanya untuk berhenti mengatakan hal-hal yang tidak masuk akal, namun pria disampingku justru menaikkan alisnya seolah dia sama sekali tidak paham dengan apa yang aku maksud.

"Candaan yang seperti apa yang Mbak Aira maksud? Mbak bertanya siapa yang akan menikah ya itu jawabannya, yang menikah mantan istri saya dengan  seorang Mayor yang merupakan putra senior Jendral Wibawa."

Aku berdecak, kesal dan gemas karena dia justru menanggapi hal sebesar ini dengan sangat santainya. Mantan istrinya menikah, dan dia akan datang untuk mengawal istri dan anak komandannya ke acara tersebut dan dia santai saja, sungguh itu bukan hal yang normal.

Kalla tenang, namun aku yang justru tantrum,

"Really, dan kamu bisa bersikap setenang ini? Papi tahu kalau acara ini acara mantan istri Abang?"

Bang Kalla menatapku sekilas, dia sedikit berjengit karena sepertinya kaget dengan suaraku yang keras dan reaksiku yang berlebihan.

"Lantas apa yang harus saya lakukan, Mbak Aira? Kami sudah bercerai, kamu itu sudah bukan siapa-siapa lagi antara satu sama lain, bukan masalah untuk saya mendampingi Ibu dan Mbak Aira ke acara tersebut. Soal Komandan mengetahuinya atau tidak, beliau tahu, bahkan di saat kami menikah dulu, Jendral Wibawa yang menjadi saksinya."

Mendengar apa yang dikatakan Bang Kalla seketika aku bersandar dengan lemas, kenapa hidupnya ironis sekali sih? Dia masih sangat muda, good looking, dia juga bukan tipe pria yang suka tebar pesona seperti kebanyakan para Halo Dek di sekelilingku yang suka caper mengharap akan menjadi Menantu Bapak Jendral, pria ini pendiam, dia hanya menjawab apa yang ditanyakan, dan parahnya dia gagal berumah tangga.

Aku ingin bertanya kenapa dia sampai bercerai, tapi pada akhirnya aku memutuskan untuk menelan kembali pertanyaanku, berbicara dengannya beberapa kali membuatku sedikit trauma dengan jawaban yang akan dia berikan, jawabannya selalu diluar Nurul, sama sekali tidak aku sangka dan mencengangkan.

Alhasil aku hanya menanggapinya dengan masam, "aku nggak bisa bayangin gimana kecewanya Papi waktu dengar kalian bercerai. Jika ada hal yang tidak diinginkan oleh seorang saksi pernikahan, itu adalah perceraian dari mereka yang dia saksikan pernikahannya."

"Sederhana saja Mbak Aira, kami tidak berjodoh. Dan saya yakin meski Jendral Wibawa kecewa, beliau pasti tahu jika yang terbaik untuk kami, saya dan mantan istri adalah berpisah."

Astaga Gusti, ada loh jawaban sebijak ini dari seorang laki-laki, saat ada kesempatan untuk menjelekkan pasangannya namun Bang Kalla justru menjawabnya senetral mungkin tanpa ada sedikitpun dia menjelekkan mantan pasangannya. Rill definisi dia sudah merelakan masa lalunya. Sederhana dan dewasa namun tidak semua orang bisa melakukannya.

Jika sudah seperti ini mana berani aku bertanya-tanya lagi, sepanjang perjalanan akhirnya aku diam dan pria ini pun juga diam. Bang Kalla tidak seperti Bang Dika yang cerewet, atau ajudan Papi lainnya yang sok asyik, dia hanya berbicara saat aku bertanya, dan sekarang saat aku diam, dia ikut diam bahkan saat kami sampai di hotel tempat dimana pernikahan itu berlangsung.

"Abang yakin mau menemani kita ke dalam?"

Untuk kesekian kalinya aku bertanya kepadanya, laki-laki yang tampil clean dan modis meski pakaiannya simple dan sederhana tersebut justru menatapku dengan pandangan tidak mengerti.

"Jendral meminta saya untuk mendampingi Mbak Aira dan Ibu selama acara, jadi saya akan masuk. Jika Mbak Aira merasa terganggu dengan kehadiran saya, saya akan berada di tepi, tapi tenang saja, saya akan tetap memantau Mbak Aira dan Ibu."

Bukan itu maksudku, ya ampun, yang aku tanyakan lagi-lagi soal perasaannya yang harus bertugas di acara pernikahan mantan istrinya, haruskah aku bertanya hal segamblang itu kepadanya diantara tamu undangan yang mulai berdatangan di sekelilingku? Aku tidak ingin dia menjadi sad Boy yang mengerikan di dalam sana. Tapi sepertinya kekhawatiranku hal yang sia-sia, entah dia benar-benar tidak merasakan apa-apa saat mendapati mantan istrinya menikah atau dia begitu pandai menyembunyikan semuanya dibalik wajah datarnya.

Ajudan Papi yang satu ini ya, arrrggghhhh, gemas plus kesal sendiri aku jadinya. Alhasil aku hanya bisa meremas kepalan tanganku sendiri untuk meredam emosiku yang nano-nano.

Terserah dialah.

"Aira, ya ampun! Disini rupanya kamu! Mami kira kamu benar-benar nggak mau nemenin Mami."

Ditengah delikan sebalku kepada Ajudan baru Papi ini suara Mami yang sangat familiar terdengar, langkah kaki beliau yang mengenakan wedges terdengar sangat khas, kadang aku ngilu sendiri mendapati Mami menggunakan sandal berhak setinggi ini karena tubuh beliau yang mungil.

Aku memeluk Mami, mencium pipi Mami kanan dan kiri.

"Gimana Ai nggak datang kalau Papi langsung mengirim Ajudannya tepat ke bawah hidung Ai, Mi."

Baru saat aku menyinggung tentang Ajudan Papi pandangan Mami beralih ke sosok yang ada di belakangku, Mami sedikit terkejut dengan kehadiran Bang Kalla namun hanya sedetik keterkejutan tersebut sebelum Mami mengubahnya menjadi senyuman, apalagi saat Bang Kalla meraih tangan Mami untuk memberi salam.

"Kalla, saya nggak nyangka kalau kamu yang dikirim Papinya Aira buat bawa Aira kesini. Kamu nggak apa-apa nemenin Aira?"

Ada makna yang tersirat di pertanyaan Mami yang aku yakin pasti dipahami oleh Bang Kalla, namun pria ini hanya tersenyum kecil sembari mengangguk formalitas.

"Tidak apa-apa, biar nanti Yunita yang mengawal Ibu dan Mbak Aira, saya memantau dari tepi bersama Pandu. Sepertinya Mbak Aira belum terbiasa dengan saya."

Mami mengangguk sedangkan aku memutar bola mataku dengan malas, terserah lah dia mengatakan apa. Aku saja yang mungkin terlalu berlebihan karena baru mendapati seseorang yang menghadiri pernikahan mantan dengan sangat tenang. Aku meraih tangan Mami, dan bersama-sama kami memasuki Ballroom, rupanya memang benar ini adalah acara dimana banyak pejabat penting datang, para Ajudan melindungi mereka, memandang penuh waspada kepada sekeliling.

Bersama aku dan Mami turut bersama dengan tamu yang lain, namun langkahku terhenti saat melihat foto pengantin yang dipajang sepanjang jalan menuju venue yang tampak penuh dengan bunga-bunga, mendapati wajah dua orang yang sangat mesra dalam balutan pakaian adat Jawa, pandanganku terarah kepada nama Farid dan Salma yang tertera dan reflek seketika aku menatap ke arah Bang Kalla yang ada di belakangku.

"Masih gantengan Abang rupanya dibandingkan pengantin cowoknya." Ujarku yang langsung membuat Mbak Yunita dan Mas Pandu terkekeh geli sedangkan Mami langsung mencubit lenganku dengan sangat kuat hingga aku nyaris menjerit  karena kesakitan.

"Aira, mulutmu itu loh!" Desis Mami tidak suka, penuh dengan peringatan dan ancaman yang membuatku langsung merengut.

"Apa sih Mami!" Balasku tanpa gentar, "orang bicara kenyataan kok. Pantas saja Bang Kalla santai saja, dahlah emang paling bener nggak usah khawatirin dia. Dalam hati dia juga pasti ketawa."

Emang salah ngekhawatirin modelan kulkas yang dikasih kaki.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 12 hours ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KAIRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang