"Aira, nice!"
"Lihat sini, Ra. Nah, nah, good!"
"Bagus-bagus, pertahankan. One, two, nice!"
Berulangkali Fotografer dan stylist memberikan arahan kepdaku, bergaya di depan kamera bukan hal yang baru untukku hingga dengan mudah aku mengikuti arahan, sedari kecil Bude Abel sudah memanfaatkanku untuk photoshoot baju-baju beliau, bahkan beliau jugalah yang mengarahkanku untuk ikut kelas modeling selama liburan kenaikan kelas. Kenaikan kelas selama 3 minggu yang seharusnya digunakan anak-anak untuk hiburan justru dimanfaatkan untuk belajar berjalan dengan benar, berpose dengan anggun dan menawan yang justru membuatku nyaman menjalaninya hingga sekarang.
Dibandingkan menerima tawaran Papi untuk menjadi Kowad atau guru seperti Mami masa muda dulu nyatanya aku lebih memilih karier ini selain mengurus Yayasan Keluarga Wibawa juga.
Beberapa gown aku kenakan. Beberapa kali juga hair style-ku diubah, Night gown, cocktail dress, dan yang terakhir harus aku kenakan adalah wedding dress sederhana yang tengah digandrungi para Gen-Z yang tidak ingin memakai gaun heboh dan ingin pernikahan intimate, gaun silk ini melekat indah di tubuhku, lengan model sabrina yang memperlihatkan bahuku membuatku merasa jauh lebih cantik.
Moodku benar-benar bagus sore hari ini, untuk kali ini aku sama sekali tidak protes apapun terhadap Eve tentang gaun rancangannya, aku bahkan sampai melupakan tentang perdebatanku dengan Papi tadi pagi soal menemani Mami ke acara kondangan. Mungkin aku akan benar-benar melupakan perdebatan tersebut jika saja Eve tidak kembali menyerahkan ponselku kepadanya.
"Siapa lagi? Jangan bilang kalau si Kavi!" aku sudah memelototinya yang membuat asistennya segera melipir ngeri mendapati kekesalanku, namun Eve yang sama sewotnya langsung meletakkan ponselnya ke tanganku.
"Bukan, Bokap lo yang telepon! Om Sura! Durhaka lo kalau nggak angkat telepon orangtua!"
Seketika aku teringat dengan perdebatanku bersama dengan Papi tadi pagi, moodku terjun bebas karena pasti Papi akan memaksaku untuk menemani Mami dengan sejuta alasan yang tidak bisa aku tolak. Bayangan obrolan basa-basi yang ujung-ujungnya tentang perjodohan sudah berkelana di dalam kepalaku yang membuatku bergidik sendiri.
"Kamu aja yang angkat, Kak Eveku yang cantik. Bilang saja ke Papi kalau aku sibuk." Kali ini aku memelas kepadanya, memohon agar dia mau membantuku, tapi manusia berbakti satu ini justru dengan kejinya tersenyum penuh pembalasan.
"Nggak ada bohong sama orangtua, Aira. Durhaka lo! Angkat! Hidup lo udah dikasih enak, jangan kebanyakan tingkah lo!"
Pedas sekali mulutnya. Kayak sambel geprekk level jahanam, tidak ingin mendengar kata durhaka berulangkali disebut oleh Eve terpaksa aku mengangkatnya.
"Assalamualaikum Papiku yang ganteng. Nggak ada kerjaan apa Pi sampai neror Ai?"
Dengan kalimat sarkas aku menyapa beliau, suara Papi yang berat terdengar tergelak diujung sana, beliau tampak sangat geli denvan sahutanku yang sangat tidak bersahabat.
"Waalaikumsalam cantiknya Papi. Papi sibuk banget Aira, makanya Papi mau ngingetin kamu kalau nanti kamu harus nemenin Mamimu ke acara resepsi!"
Melupakan jika aku tengah berada di antara kerumunan orang, aku menatap tidak percaya pada layar ponselku seolah Papi benar-benar ada di hadapanku.
"Nggak bisa Papi, aku sedang ada kerjaan. Tanya saja sama Eve kalau nggak percaya, nggak profesional dong Pi kalau aku pergi sebelum kerjaan selesai!"
Aku masih berusaha mengelak, aku benar-benar tidak ingin ikut Mami ke acara apapun itu, tapi sama sepertiku yang mau diajak berkompromi, Papi pun sama kekeuhnya.
"Nggak apa-apa, kamu selesaiin saja kerjaanmu, Ra. Papi sudah nanya ke Eve kapan kira-kira kamu selesai. Waktunya masih ngejar buat kamu siap-siap nemenin Mami, tenang saja, nanti Ajudan baru Papi yang jemput kamu."
Klik. Panggilan itu terputus bahkan sebelum aku sempat berteriak kepada Papiku. Demi Tuhan, aku ingin mencekik Eve sekarang juga, dia sangat paham dengan apa yang tidak aku sukai dan justru dia malah mendorongku masuk ke dalam. Awas saja, aku tidak akan membantunya lagi.
"Aira, take lagi, ya....."
Aku masih ingin marah, memaki-maki Eve jika bisa namun Danang dan Galih, si Fotografer dan stylist yang memanggilku menyelamatkan nyawa Eve. Dengan wajah cemberut, badmood marah aku melanjutkan pekerjaanku seprofesional mungkin meski tanpa bayaran. Bayang-bayang basa-basi dengan para mama-mama nanti benar-benar menghancurkan hariku.
Seolah tidak berhenti sampai disana ujian kesabaranku, pekerjaan yang seharusnya selesai justru semakin bertambah saat Danang mengeluh.
"Ev, ini model cowoknya mana sih? Nggak datang-datang! Kebiasaan suka nyari model gratisan makanya pada molor!"
Hahaha, seketika aku tertawa saat Eve disemprot oleh Danang, separuh kekesalanku seolah terwakili oleh Danang yang mulai cuap-cuap ke Eve. Suara Danang terdengar begitu merdu ditelingaku, perlahan aku memejamkan mata, menikmati sedikit waktu untuk beristirahat sembari touch-up. Hanya keajaiban yang bisa menyelamatkan Eve dari semprotan Danang, itu pun jika dia bisa mendatangkan satu model yang sekiranya cocok di selera Danang dan Galih. Aku berharap jika tidak akan ada yang bisa menyelamatkan Eve namun sepertinya Eve memang terlahir dengan keberuntungan karena tiba-tiba saja wanita itu memekik dengan riang.
"Ya ampun, gimana kalau dia saja yang jadi model? Gimana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
KAIRA
RomansaSaat Tuan Putri kesayangan Sang Panglima yang pecicilan dan manja bertemu dengan Ajudan yang dingin. Aira Sekar, perempuan manja mahasiswa Hubungan Internasional tersebut nyatanya harus menjilat ludahnya sendiri, satu waktu dia pernah berkata jika d...