Pernikahan Mantan Istri

565 131 3
                                    

Masih menjadi misteri kenapa dihari terakhir menstruasi justru seringkali terjadi banjir yang tidak terduga seperti yang aku alami. Wajahku sudah pucat, aku sudah takut bergerak, pasti banjir sampai ke celana yang aku kenakan, dan parahnya celana yang aku kenakan warna cream yang pasti akan tembus.

Sungguh ini hal yang memalukan dan merasakan kekonyolan ini membuatku hampir menangis ditempat. Aku bingung bagaimana aku harus meminta tolong pada Ajudan Papi ini, apalagi setelah sikapku yang kurang baik kepadanya, namun siapa yang menyangka jika pria ini paham dengan apa yang aku katakan.

"Sebentar, Mbak Aira......"

Pria ini memang tidak banyak berbicara, namun saat akhirnya bertemu dengan minimarket lagi, Ajudan Papi ini langsung menepikannya, namun sama saja hal ini sama sekali tidak menyelesaikan masalah, ada banyak orang yang berlalu-lalang dan nongkrong di depan minimarket, tidak mungkin aku keluar dalam keadaan seperti ini, tidak mungkin juga aku ganti di dalam mobil, huhuhu, aku benar-benar ingin menangis.

Demi Tuhan kenapa perempuan harus direpotkan dengan hal yang namanya menstruasi sih?

"Mbak bisa tunggu di toilet, nanti saya antar buat gantinya."

Normalnya seorang pria akan malu atau risih saat berhadapan dengan perempuan dan siklus bulanannya, namun Bang Kalla menanggapinya dengan sangat tenang, bahkan dia menawarkan untuk membelikan pembalut tanpa aku harus terang-terangan mengatakannya. Dia sigap, peka, dan tanggap, bahkan dibandingkan Bang Dika yang jelas-jelas punya istri saja dia pernah menolak dengan keras saat istrinya titip pembalut tepat di depan mataku dengan alasan malu, hal yang membuatku mewanti-wanti diriku sendiri agar tidak pernah merepotkan para lelaki soal tamu bulanan wanita ini, namun sekarang disaat ini aku seharusnya terkesan dengan sikapnya ini tapi kondisiku membuatku tidak bisa mengapresiasi sikap plusnya dibandingkan pria lainnya ini.

Yang ada disuruh segera ke toilet akunya yang hampir nangis.

"Nggak bisa Abang, kayaknya tembus."

Daripada semakin menyebalkan dengan hanya menangis saja, aku memilih untuk berkata dengan jujur meski rasanya sangat malu. Bang Kalla yang ada di depan menengok ke arahku, melihat wajah pucatku, tatapannya bergerak ke arah tanganku yang ada di pangkuanku dan dia sama sekali tidak berkata apapun karena setelahnya dia berjalan keluar.

Aku sempat mengira jika Bang Kalla akan meninggalkanku begitu saja yang merepotkan ini, namun ternyata aku salah besar, dia membuka bagasi mobilku, menutupnya kembali, kemudian keluar dia membawa seragam lorengnya, aku tidak tahu apa yang hendak dia lakukan sebelum akhirnya Bang Kalla membuka pintu penumpang tempatku berada.

Wajahnya ada tepat di hadapanku yang hampir menangis, "Mbak Aira bisa keluar?"

Aku ingin menolak, aku tidak ingin keluar dengan keadaan yang memalukan ini, apalagi rasa tidak nyaman ini semakin menjalar di pangkal pahaku yang terasa basah, namun pria ini mengulurkan tangannya seolah memaksaku untuk segera bangkit, sedikit beringsut menyingkirkan perasaan tidak nyaman, aku meraih tangannya untuk keluar mobil, dan saat aku berdiri di depan pintu, belum sempat aku bertanya apapun, Bang Kalla dengan sigap memakaikan seragam atasannya ke pinggangku, tanpa melihat ke arahku dia melilitkan seragamnya untuk menutupi pinggulku dan untuk kesekian kalinya dalam kurun waktu yang berdekatan Bang Kalla membuatku tidak bisa berkata-kata.

Aku menatapnya yang sibuk merapikan seragamnya untuk menutupi dosa tidak sengajaku dan dari jarak sedekat ini aku bisa melihat wajahnya bahkan sampai ke pori-porinya, ada jerawat kecil di dekat alisnya yang masih merah, membuat tanganku gemas ingin memencetnya, sebuah pemikiran absurd ditengah kondisi yang tidak biasa.

"Mbak Aira bisa tunggu di toilet? Saya akan membelikan keperluan Mbak di minimarket sebentar."

Bang Kalla sudah hampir berlari lagi, kecekatannya dan kesigapannya mejadi masalah untukku, namun sebelum pria ini menghilang lagi, aku menahannya. Aku sudah memperlakukannya dengan tidak bersahabat, aku juga berbicara tidak sopan kepadanya, tengil dan juga sombong, namun setelah semua sikapku yang menyebalkan, nyatanya Bang Kalla masih berbuat baik yang membuatku malu sendiri atas sikapku.

"Abang, nanti seragamnya kotor gimana?"

Bang Kalla perlahan melepaskan tanganku yang memegangnya, "nggak apa-apa, nanti bisa dicuci. Mbak Aira bisa ke toilet sendiri? Apa mau saya antar?"

Aku yang sudah cukup merepotkannya langsung saja menggeleng, "nggak usah, Bang. Aku bisa sendiri."

Bang Kalla mengangguk, berpisah dia masuk ke minimarket sementara aku toilet yang ada di samping minimarket, sebenarnya aku paling menghindari toilet minimarket karena menurutku kurang bersih namun karena sekarang kondisi darurat mau tidak mau aku menggunakannya.

Sungguh aku benar-benar merasa ini adalah karma karena sudah membangkang apa yang diminta Papi dan Mami, celana dalamku basah, kotor, bahkan sampai tembus ke celana panjangku. Di dalam bilik toilet aku menunggu Bang Kalla, syukurlah pria itu tidak membuatku lama menunggu.

Pintu bilik diketuk, dan dia memberikan paper bag yang dibawakan oleh Eve tadi beserta dengan belanjaan di Indomaret, kalian tahu apa yang Bang Kalla belikan untukku, bukan hanya pembalut, tapi juga celana dalam, astaga, ini adalah hal paling memalukan, tisu basah, dan juga sabun.

"Kalau ada yang dibutuhkan lagi, Mbak Aira bilang saja."

Demi Tuhan, jangan tanya bagaimana malunya aku sekarang ini, segala hal pribadiku dibelikan olehnya tanpa luput sama sekali, entah bagaimana memalukannya bagi Bang Kalla saat berpapasan dengan pengunjung minimarket lainnya waktu mengambil semua hal ini. Tidak ingin membuang waktu lebih lama, aku mulai membersihkan diriku, berulangkali aku menghela nafas menenangkan diriku yang cengeng. Gusti, aku benci dengan perasaan naik turun tidak menentu seperti ini.

Bukan hanya membersihkan diri, aku juga segera memakai pakaian yang Eve siapkan. Aku tidak ingin terlalu menyusahkan Bang Kalla yang sudah aku repotkan dengan banyak hal-hal memalukan seperti ini.
Soal rasa malu, aku sudah menyingkirkan hal itu jauh-jauh, lagipula segalanya sudah terjadi bukan? Setelah memastikan semuanya bersih, sampah sudah aku buang dengan benar, dan aku pun sudah rapi, aku membuka pintu toilet, dibalik Toilet Bang Kalla menungguku dan dia segera menghampiriku, diterimanya paperbag yang berisi pakaian kotorku, namun saat dia mengulurkan tangannya meminta seragamnya yang masih ada ditanganku, aku segera menggeleng.

"Seragamnya aku bawa buat dicuci, Bang. Takut kalau kotor." Kembali aku meraih paper bag tersebut, dan tanpa ada penolakan dari Bang Kalla aku melipat seragamnya untuk aku bawa ke dalam mobil. Dia sudah banyak menolongku dari masalah wanita yang krusial, jika seragamnya sampai kotor karena diriku sudah pasti aku harus bertanggung jawab, bukan? "Terimakasih juga, maaf sudah merepotkan."

Kata terimakasihku yang aku ucapkan dengan nada lirih sukses membuat Bang Kalla menghentikan langkah kakinya, dia berbalik, menatapku seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya, namun aku mengulanginya lagi agar dia paham jika aku mengucapkan terimakasih.

"Terimakasih, Bang. Maaf sudah merepotkan untuk hal-hal memalukan ini."

Bang Kalla tampak kebingungan dengan ucapan terimakasihku, tapi pada akhirnya dia mengangguk, "sudah menjadi kewajiban saya membantu dan menjaga Anda, Mbak Aira."

Kalimat template seorang Ajudan kepada keluarga yang dijaganya. Tanpa menanggapi ucapan terimakasihku lebih jauh pria itu kembali berjalan menuju mobil yang langsung aku ikuti, kali ini aku tidak lagi duduk di belakang melainkan di sampingnya, bukan karena apa, tapi bisa jadi disana kotor, kan?

Rasanya canggung sekali bersisian dengan seorang yang tidak banyak bicara, menebus sikap tidak baikku sebelumnya aku berusaha membuka pembicaraan dengan orang yang sangat irit berbicara ini, setelah kebingungan mencari bahan pembicaraan alhasil aku bertanya.

"Sebenarnya resepsi pernikahan siapa sih yang mau kita datangi ini? Abang tahu? Kayaknya penting banget sampai Papi ngotot banget."

Bang Kalla menatapku sekilas, tatapannya yang datar membuatku sulit untuk membaca perasaannya.

"Pernikahan mantan istri saya dengan seorang Mayor putra salah seorang Perwira tinggi yang juga rekannya Jendral Wibawa. Itu sebabnya mungkin penting bagi Jendral untuk hadir disana, setidaknya diwakili Ibu sama Mbak Aira."

Jawaban macam apa ini? Untuk kedua kalinya aku dibuat ternganga, tidak menyangka dengan jawaban yang aku dapatkan darinya. Aku mencari indikasi candaan di dirinya, namun pria itu tampak serius dibalik kemudinya.

Datang ke pernikahan mantan istri pria disampingku? Dia nggak lagi bercanda, kan? Gusti, ini terlalu ironis untuk menjadi kenyataan.

KAIRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang