Ancaman Yang Aku Berikan

369 118 9
                                    

Demi Tuhan, aku ingin menggigit bibirku sendiri yang sudah memanggil Bang Kalla dengan cara yang bahkan sanggup membuatku mual sendiri, caraku memanggil dirinya persis seperti remaja akhir belasan saat memanggil pacarnya yang tengah dilanda kasmaran

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Demi Tuhan, aku ingin menggigit bibirku sendiri yang sudah memanggil Bang Kalla dengan cara yang bahkan sanggup membuatku mual sendiri, caraku memanggil dirinya persis seperti remaja akhir belasan saat memanggil pacarnya yang tengah dilanda kasmaran.

Hueeeekkkk, aku bahkan ingin muntah karena ulahku sendiri

Cepat dan tanggap dengan permintaanku, Bang Kalla syukurnya dia mendekat, Mami yang mungkin mendengarku memanggil Bang Kalla dan caraku memanggilnya seolah paham jika ini adalah salah satu caraku untuk menolak secara halus lamaran yang sangat dipaksakan.

"Kalla sudah datang, Ai?"

Mamiku yang sebelumnya pura-pura tidak melihat aku meminta tolong bertanya dengan manisnya yang langsung aku balas dengan senyuman sarkas.

"Itu Mi, panjang umur orangnya datang." Sekilas Mami mengangguk sebelum akhirnya beliau turut bergerak mengobrol kembali dengan entah siapa, samar-samar aku mendengar Mami berkata 'oh itu, ajudannya Mas Sura, tapi baru deket sama Aira, saya mah nggak masalah ajudan, orang biasa, atau apapun, yang penting Aira cinta, laki-laki itu bertanggungjawab, bagi saya sudah cukup. Anak cuma satu, selain kebahagiaannya apalagi coba yang ingin saya kejar. Sebelumnya Aira nggak ada ngomong apa-apa, nggak tahu ya kalau sekarang sudah pacaran.'

Dan tentu saja yang diucapkan Mami itu terdengar sampai di telinga Tante Tatiek dan Kak Haris yang seketika masam.

"Tante Tatiek, Kak Haris, mohon maaf, saya nyamperin pacar saya dulu, ya. Maaf loh Tan! Mari Kak Haris."

Tante Tatiek mencibir secara halus saat aku berpamitan, beliau mungkin merasa terhina dengan sikapku namun untuk memarahiku dan menganggapku sombong beliau tidak akan berani. Siapa yang berani memarahi seorang Putri Panglima? Berlalu aku berbalik meninggalkan mereka, dan sebelum aku disergap Mamak-mamak pemburu menantu yang tergoda dengan empat bintang di bahu Papi, aku buru-buru menghampiri Bang Kalla.

Laki-laki itu dengan tampilan clean, dan sederhananya sama sekali tidak terbanting diantara para tahu yang tampak rapi dengan kemeja batik, jas, bahkan tuxedo, wajah tampan dengan jambangnya yang dicukur rapi menyelamatkan segala hal sederhana di dirinya. Dia menghampiriku diantara banyaknya tamu yang mencari meja, dan aku pun menghampirinya, tepat saat dia ada di hadapanku, sebelum dia sempat bertanya kepadaku apa yang membuatku memanggilnya aku langsung meraih lengannya dan menggandengnya.

Ya, aku menyelipkan tanganku ke lengannya yang membuatnya cukup terkejut, hampir saja dia melepaskan tanganku karena ulahku ini membuat kami menjadi pusat perhatian namun dengan cepat aku semakin mengeratkan pelukanku pada lengannya.

"Mbak Aira, kenapa?! Ada apa?!" Tanyanya dengan panik dibalik suaranya yang tenang.

"Pertama, panggil aku Aira saja! Jangan Mbak! Abang bikin aku keinget sama Mbak Samirah dirumah, kedua Abang harus nyelametin aku!"

Mendengar permintaanku yang nyeleneh pria ini semakin kebingungan, alis tebalnya terangkat sebelah bertanya kepadaku penjelasan dari sikapku yang tidak biasa.

"Apa? Kenapa?" Tanyanya lagi dengan tidak sabar, namun saat aku mengisyaratkan untuknya agar dia menunduk supaya aku dengan mudah berbisik di telinganya, pria ini menurut. Sungguh disaat ini, melihat seorang pria dewasa berpenampilan garang dengan sikapnya yang dingin namun dia dengan mudahnya mengabulkan apa yang kita minta meski permintaan itu terkesan kekanakan, ada rasa kagum yang menyeruak.

Berpegang dengan tangannya aku mendekat, berbisik tepat pada telinganya memastikan tidak ada seorang pun yang mendengar apa yang aku katakan.

"Aku nggak mau tahu, pokoknya Abang nggak boleh pergi ninggalin aku! Abang harus jadi pacarku malam ini biar emak-emak yang mau nyodorin anaknya buat jadi mantunya Pak Sura mundur teratur!"

Ada ya orang yang minta cowok buat jadi pacar kayak orang mau ngajak maling mangga di rumah tetangga depan rumah, ya ada, orang itu adalah aku yang sudah bosan dan muak setengah mati dengan drama perjodohan diantara anak kolong yang seakan sudah menjadi tradisi.

Seperti yang sudah aku perkirakan, usai mendengar permintaanku yang diluar nurul serta agak ngadi-ngadi Bang Kalla sedikit tersentak namun tidak sampai melemparkan tanganku. Bola matanya yang gelap agak melebar, aku tahu pasti di dalam kepalanya sekarang dia tengah mengumpatiku dengan sebutan anak setan. Namun apapun yang Bang Kalla lakukan, aku tetap tersenyum.

"Mbak Aira......."

"Aira saja!" Koreksiku saat dia memanggilku dengan suaranya yang berat yang alhasil membuatnya menghela nafas panjang seolah dia tengah mengumpulkan kesabaran.

"Aira, apa kamu sudah gila?!" Desisan rendah itu keluar dari bibirnya yang terkatup rapat, "Jendral Wibawa bisa membunuhku! Bagaimana bisa kamu memintaku untuk menjadi pacarmu!"

seharusnya aku takut dengan reaksi penolakannya, suara beratnya penuh ancaman namun mendapati ekspresi tidak biasa muncul di wajahnya yang datar, tak pelak bukannya takut aku justru terkekeh geli.

"Papi sama Mami minta Abang buat jagain aku loh! Apa yang baru saja aku minta ke Abang barusan bagian dari penjagaan yang diperlukan loh! Please, Bang! Aku nggak mau denger basa-basi busuk soal perjodohan itu. Lagipula, Abang nggak perlu ngapa-ngapain kok. Cukup diam saja, pinjem lengannya buat aku gandeng, udah! Nggak lama, cuma selama acara ini saja!"

Aku berusaha membujuknya, berusaha membuatnya mengatakan iya dan menyetujui apa yang aku minta, tidak lucu kan saat aku menggandengnya tiba-tiba dia melemparkan gandenganku di depan orang-orang yang ingin aku hindari.

"Aira, ini tidak sesederhana apa yang kamu pikirkan! Jendral Wibawa bisa membunuhku, terlebih tidak akan ada yang percaya kamu bersamaku, tidak mungkin seorang Putri tunggal Wibawa bersama seorang Duda!" Masih kekeuh menolak permintaan tolongku, Bang Kalla berusaha melepaskan lengannya yang aku gandeng, namun siapa dia berani menolak apa yang aku minta, yang ada aku justru semakin mengeratkan gandenganku. "Gunakan akal sehatmu, Mbak Aira! Toh tidak ada salahnya mengenal orang-orang yang mendekatimu, mereka yang ada disini kandidat layak untuk menjadi pendampingmu."

Aku menggeleng keras, sikap egois anak tunggalku tidak menerima apa yang dia katakan. Selama ini Papi dan Mami juga berkata hal yang sama, tapi sumpah, aku tidak menginginkan mereka yang katanya dari tempat yang sama denganku, disaat anak kolong lainnya menginginkan pasangan seperti ayah mereka, yang ada aku justru semakin enggan.

"Daripada sama mereka, aku lebih milih sama Abang!" Jika ada satu nilai plus diantara banyak nilai minus seorang Kalla Raharja mungkin itu adalah dirinya yang tidak caper kepadaku, tidak cari muka, tidak berusaha mendekatiku demi keuntungan, dia benar-benar sekedar menjalankan perintah Papi, dan hal inilah yang aku gunakan sebagai jurus terakhir agar dia menuruti apa yang aku minta. "Sekarang gini saja, terserah Abang setuju atau tidak, tapi Abang nggak boleh ninggalin aku! Tetap disampingku, nggak boleh pergi atau lepasin tanganku, kalau sampai Abang berani lepasin tanganku, aku aduin sama Papi langsung."

Bodo amat Bang Kalla mengataiku gila, aku akan menggandeng lengannya kemanapun aku pergi semalaman ini agar aku tidak mendengar penawaran para orangtua yang mempromosikan anaknya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 16 hours ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KAIRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang