6. Ajudan Baru

621 131 9
                                    

Sontak aku membuka mata, penasaran dengan apa yang membuat Eve begitu riang seolah dia baru saja menemukan harta karun. Seketika aku menoleh, dan di depan pintu dimana Eve berlari aku mendapati seorang yang bertubuh tinggi tegap namun ramping tanpa otot yang menonjol berlebihan, cuttingan yang pas untuk seorang model pria dengan rambut cepaknya.

Melihat sosok tampan, dewasa, dan tampan clean dengan kemeja putih dan juga celana hitamnya aku paham kenapa Eve begitu terpana, karena saat aku melihatnya aku tidak bisa menemukan kata yang pas selain dia tampan. Ya, benar-benar tampan, maskulin. Bahkan disaat wajahnya kebingungan karena diserbu oleh Eve yang sangat agresif persis seperti DC yang hendak ngangkut nasabah bermasalah, dia masih tampak goodlooking.

"Kak, Kakaknya mau bantuin saya, kan?"

Lagi, tanpa tedeng aling-aling dan tanpa tahu malu Eve menyerbu pria tersebut, aku yang mendengar suara cempreng Eve langsung saja tersadar dari keterpakuanku. Eve ini saking kalutnya sampai lupa jika tidak seharusnya pria ini sampai di ruang photoshoot, bahkan kalaupun dia nemenin fitting pasangannya. Omong-omong soal fitting dan pasangan, aku jadi penasaran perempuan seperti apa yang berhasil menawan laki-laki dengan spek idaman sepertinya.

Beruntung sekali wanita itu.

"Sorry, nggak bisa, Kak. Saya......."

"Loh kenapa nggak bisa? Saya belum ada ngomong loh minta bantuan apa!"

Eve ini ya, kebiasaan kalau sedang panik otaknya tidak bekerja sepenuhnya. Pria itu hendak berbicara namun dengan cepat dia justru memotongnya, aku yang ingin mengabaikan seketika menatap mereka kembali dengan perasaan gemas ingin membungkam mulut sepupuku itu.

"Apapun bantuan yang Kakak minta, saya tidak bisa membantu, Kak!" Aku harus mengacungkan jempolku untuk penolakan yang pria itu berikan. Wajah cantik memelas Eve yang biasanya akan meluluhkan hati siapapun lawan bicaranya sepertinya tidak berlaku untuk pria tegap di hadapannya. Dengan tegas dia menolak membuatku menatapnya dengan penuh minat. "Saya datang untuk menjemput Mbak Aira seperti yang diperintahkan Bapak."

Aku yang sebelumnya menatap pria tersebut dengan penuh minat seketika tergelincir dari topangan daguku, aku ternganga, cengo sendiri tidak menyangka jika Ajudan Papi berubah. Biasanya Bang Dika yang menjemputku, ajudan Papi yang istrinya selalu negative thinking kepadaku, Papi memang mengatakan jika ajudannya akan menjemputku tidak peduli aku mengatakan tidak, namun Papi tidak memberitahuku jika Ajudannya berbeda.

"Haaaah, Ajudan Om Sura? Kok beda? Jangan ngaku-ngaku lu, ya! Bilang aja kalau lu ini komplotannya si Aira biar dia bisa kabur?"

Apa yang dikatakan oleh Eve mewakili pertanyaanku.
Sosok ini baru, dan saat pandangan mata kami bertemu, sialnya aku terjebak dalam bola mata hitam jernih yang terlihat begitu memikat. Dingin, misterius, namun memaksaku untuk terus terjerat di dalamnya.

Aku menelan ludah, semuanya terasa kelat, mendadak aku seperti tidak bisa berbicara, sosok di hadapanku sana membuatku tidak mampu berkata-kata. Pada pandangan pertama tidak ada yang aku rasakan, dan sekarang dalam pandangan kedua, pria ini sialnya membuatku salah tingkah hanya dengan tatapan matanya saja.

Jantung ini juga, kenapa sih lu mendadak jadi jedar-jeder kayak gini? Kayak nggak pernah lihat Hallo Dek ganteng aja!

Yang ganteng banyak, yang mature dengan jambangnya yang tercukur rapi dengan suara berat Sexy baru dia ini.

Tanpa tahu malu hatiku berdebat dalam dua kubu soal sosok asing yang ada di hadapanku. Kali ini sepertinya aku harus mengutuk diriku sendiri karena bisa-bisanya aku salting terhadap salah satu Ajudan Papi, yang jelas-jelas Hallo Dek, yang sangat aku hindari.

Tapi bagaimana aku tidak salting jika pria ini begitu memikat dengan suara beratnya? Bener-bener kek ngajak sleep call, dah.

Apalagi saat akhirnya dia mengeluarkan ponselnya, tanpa banyak argumen dalam menjawab pertanyaan Eve. Sepertinya pria itu langsung melakukan panggilan, hanya dalam dering kedua usai memanggil nomor yang dinamai Jendral Wibawa, suara yang sangat familiar untukku dan Eve terdengar menggema diseluruh ruangan.

"Halo, ada apa lagi, Kall? Itu si Anak Badung nggak mau kamu ajak pergi?"

Kalimat yang diucapkan Papi membuatku meringis, malu sekali mendapati Papi menyebutku badung dan didengar banyak orang.

"Siap izin Jendral, saya perlu mengonfirmasi identitas saya. Mbak yang punya Butik tidak percaya kalau saya Ajudan Jendral!"

"EVE!!!!" Kali ini Papi berteriak memanggil nama Kakak sepupuku. Sepertinya Papi hendak mengumpat namun beliau seketika teringat jika bisa saja Pakdeku akan menembak Papi jika berani membentak putri tunggalnya. Alhasil Papi hanya bisa menghela nafas panjang menyabarkan hati beliau, Kalian tahu, bahkan hela nafas Papi saja bisa terdengar sampai di telepon, apa nggak heboh itu Papi menahan kesabarannya. "Yang datang buat jemput Aira itu Kalla, ajudan baru Om. Bagus kamu minta konfirmasi! Sekarang Om minta segera lepaskan adikmu dari pemotretan atau apapun itu dan minta adikmu buat nemenin Tantemu ke acara respsesi Kolega Om! Kamu bisa melakukannya, Darling?"

Dengan lembutnya Papi membujuk, aku menggeleng keras kepada Eve berharap jika kakak sepupuku ini mau diajak bekerjasama namun Eve yang passionnya melebihi rasa kekeluargaan kami justru dengan senyum menyebalkan berbuat sebaliknya.

"Siap Om!"

Klik. Telepon itu dimatikan, dan sontak aku langsung berteriak. "Eve, Si4lan lu!"

Namun peduli apa Eve dengan umpatanku karena yang dia lakukan justru menghadap pada pria bernama Kalla tersebut.

"Aira boleh kamu jemput asalkan kamu mau menjadi model couple bersama dengan putri Panglimamu itu untuk photoshoot terakhir."

"............." Eve ini. Dia bukan malaikat, tapi iblis!

"Silahkan pilih, membantuku atau aku tidak mengizinkannya untuk pergi."

KAIRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang