Seperti Prewedding

771 126 5
                                    

Eve Anj..........

Makian itu benar-benar hampir lolos dari mulutku, tanganku sudah mengepal ingin menggeplak sepupuku itu namun jawaban yang diberikan oleh pria itu membuatku seketika mengurungkannya.

"Baiklah kalau begitu. Setelah itu Mbak Aira boleh pergi, kan? Tanpa ada tambahan atau apapun?"

Kini aku berada di dalam dilema, siapa yang ingin aku hajar terlebih dahulu, Eve atau pria yang kini meraih kursi di sampingku membuat si MUA Caper segera bergegas untuk memakeup-nya agar tampak segar di kamera.

"Good, bagus sekali. Ini kan yang lo mau, Dan? Gue udah berhasil dapat model goodlooking yang gue yakin bakal bikin hasil jepretan lo bombastis. Gue siapin dulu tuxedo-nya."

Dengan riangnya Eve bersorak sembari pergi menyiapakan tuxedo yang pasti akan serasi dengan simple wedding dress with backless accent ini, sungguh ingin sekali aku menjambak rambut panjangnya. Karena tidak bisa melampiaskan rasa kesalku kepada Eve aku langsung berbalik ke sampingku ke arah pria brengsek yang seenaknya mengiyakan apa yang diminta oleh sepupuku dengan mudahnya. Dan bagian terbesar dari masalahku adalah aku tidak ingin pergi ke acara apapun itu.

"Apa kamu pikir berada di depan kamera hal yang mudah? Kamu hanya perlu menolaknya! Kamu tahu,  sikap sok tahumu ini akan mempersulitmu sendiri!"

Dengan suara rendah sembari menggigit gigiku agar aku tidak kelepasan berteriak aku berbicara dengan manusia yang ada di sampingku, dan kalian tahu apa reaksinya, dia melirikku sekilas, tanpa ada sedikitpun perubahan mimik wajahnya yang sedatar papan penggilasan yang dipakai Mbak Miranti.

"Apa susahnya? Tinggal ada di depan kamera buat di foto, kan? Itu tidak sulit sama sekali. Lagipula dalam perang jika bisa dilakukan negosiasi, kenapa harus mengangkat senjata?"

Astaga, seketika kepalaku terasa pening saat mendengar jawaban yang diberikan olehnya. Kenapa aku seperti bicara dengan Papi? Tidak cukupkah Papi saja yang berbicara dengan model seperti ini sehingga ajudannya juga harus melakukan hal yang sama. Aku terdiam, ternganga, sebal sendiri melihatnya yang tenang-tenang saja tanpa rasa bersalah sudah membuat masalah.

"Waaaah, waaah, kalau dilihat-lihat dari belakang kalian berdua sudah kayak pasangan yang mau Prewed loh!"

"Itu muncung kalau ngomong enteng bener!"

Celetukan macam apa itu? Dengan sebal aku menatap ke arah Eve yang kini menenteng satu set tuxedo yang ditaruh dipunggung kursi, dengan senyuman yang terus mengembang Eve memperhatikan Kalla, iya kan namanya Kalla yang kini sudah selesai dengan makeup no makeup-nya yang membuat wajahnya tampak segar.

"Saya tidak tahu pasnya tuxedo yang sudah saya siapkan, tapi sepertinya Abang ini satu size dengan model saya yang minggat entah kemana!"

Diberikannya tuxedo itu ke arah Kalla yang diterimanya dengan anggukan, sepertinya pria ini tengah sariawan sampai sulit berbicara. Dia hanya menerimanya dan tanpa bertanya lagi dia menuju ruang ganti menyisakan aku yang gondok setengah mati. Sungguh disaat seperti inj yang aku pikirkan justru rencana untuk melarikan diri mumpung ajudan Papi tidak mengawasi, persetan dengan photoshoot dengan Eve, wanita jahanam ini juga jahat kepadaku, sayangnya semua ide yang tengah terlintas dibenakku seketika buyar saat Eve memegangi tanganku dengan sangat kuat.

"Aira, demi apapun! Gue nggak ngizinin lo wujudin niat gila yang ada diotak lo! Lo harus selesaiin photoshoot kita, dan pergi sama ajudan Bokap lo!"

Ya Tuhan, Eve benar-benar! Entah bagaimana dia bisa menebak apa yang ada di dalam kepalaku, mungkin segalanya tergambar jelas di jidatku hingga dengan mudahnya dia membacanya.

"Aku nggak mau bantuin kamu lagi, Ev!" Ujarku dengan sebal. "Awas saja, ini terakhir kalinya."

Bukannya mawas dengan ancamanku Eve justru tergelak, dia menganggap ancamanku sebagai ucapan omong kosong belaka. "Terakhir kali lo juga ngomong kayak gitu, tapi nyatanya lo juga bantuin gue, kan? Lagian, kenapa sih lu mau kabur segala? Lihat noh Ajudan Bokap lo, kayaknya syarat utama jadi Ajudan Om Sura itu harus tampan dan menawan deh. Busyeeet cakep bener tuh orang."

Aku mengikuti arah pandang Eve yang sekarang sudah meleyot seperti kerupuk kena siram air, Eve jarang memuji seseorang, yang dpuji hanya hasil rancangannya saja, tapi lihatlah bagaimana cara Eve mengagumi, satu keajaiban dia tidak ngiler. Aku mencibirnya, namun sepertinya aku harus menelan cibiranku tersebut karena Eve dan aku kali ini sepertinya satu selera.

Rambut terpotong rapi, tubuh tegap dengan bahu lebar yang terbalut kemeja putih satin dengan aksen silver lembut, dia seperti model profesional saat mengenakan jam tangan Garmin-nya.

"Gue pakaiin dasinya sini....." kini aku meragukan cinta Eve ke Kavi saat melihatnya dengan antusias mendekati Kalla, perempuan kecil tersebut berlari dan benar-benar memakaikan dasi untuk pria tersebut, bukan hanya dasi tapi juga tuxedo pun dipakaikan Eve, dan aku sangat yakin saat Eve merapikan tuxedo yang sudah licin itupun dia pasti berlama-lama karena modus. Ngeselin memang, si Kalla juga diem-diem bae dijadikan manekin dadakan Eve, menikmati bener tuh si Halo Dek.

Tciiiihhhhhh

"Sudah siap semua, kan?"

Galih dan Danang berseru, membuat Eve yang sebelumnya berlama-lama dengan Kalla segera mundur, namun disaat itu Eve masih sempat-sempatnya meminta Kalla untuk menunduk agar dia bisa berbisik, entah apa yang mereka bicarakan, wajah Kalla masih datar sementara Eve terkikik.

Berusaha mengacuhkan mereka aku melangkah menuju set, tangan Kalla terulur kepadaku yang aku terima dengan enggan.

"Awas saja kalau kamu bikin pemotretan ini semakin lama..."

Genggaman tangannya pada tanganku menguat, sebelah tangan lainnya meraih pinggangku seperti yang diminta Galih mengikis jarak diantara kami.

"Kita lihat saja, lagipula kita dikejar waktu untuk segera datang ke acara Ibu."

KAIRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang