#12.Bubur Abalon

150 22 12
                                    

"Nay, Bapak masuk rumah sakit. Udah berapa hari tumbuh benjolan di lehernya, makin besar."

"Tadi kata dokter harus segera dioperasi, rencananya lusa."

"Kamu kapan pulang?"

Rangkaian pesan dari ibunya hanya dibaca sekilas oleh Naya, jujur ingin ia balas dengan satu kalimat. Naya gak peduli, Bu. Tapi ia tahu itu hanya akan menyakiti perasaan ibunya. Kembali ia tarik selimut, meringkuk dan memegangi dahinya yang hangat. Sejak kemarin ia demam dan pusing, sebuah gejala yang selalu ia alami tiap bulan akhir-akhir ini.

Hari ini Rotterdam, dan bahkan seluruh Eropa bagian barat, berpotensi terjadi badai. Di luar jendela apartemennya terlihat kaca dipenuhi tetesan air yang rimbun jatuh dari langit.

Sementara Damar di Rotterdam Central sedang terjebak dengan situasi yang membingungkan.

"This is an unforeseen situations, Sir. We do apologize! We will refund the ticket or reschedule if the train is already allowed to board." Damar hanya mengangguk dan mengatakan bahwa ia akan mencari alternatif transportasi lain pada petugas Eurostar yang baru saja meninggalkannya.

Dalam waktu kurang dari 18 jam ia harus segera tiba di Wales, untuk menghadiri pernikahan sahabatnya, Chris Park. Beberapa minggu yang lalu sebenarnya sang sahabat sudah menawarkan untuk menggunakan pesawat pribadinya, tapi ia tolak. Nasi sudah menjadi bubur, pikir Damar.

🍒 ----------- 🍒

"Full Bang, semua penerbangan dari Schipol sampai besok siang semua full." Bagas, yang weekend-nya harus dikacaukan dengan tugas mendadak, mengabarkan bahwa tidak ada tiket penerbangan ke London sampai besok.

"Coba alternatif lain, Gas. Brussels bisa gak besok pagi? Atau Paris deh. Gw coba cari cara kesananya gimana, kalau dapat." Damar menggaruk-garuk kepalanya, merasa frustasi. "Gw juga gak tahu sampai kapan jalur darat ditutup." ... "Satu-satunya yang boleh berangkat cuma pesawat."

"Oke Bang, saya coba. Tadi juga saya lihat di Eindhoven ada bandara." Lekas Bagas memenuhi perintah atasannya, meninggalkan Damar yang masih merutuki nasib sialnya hari ini.

Kembali ia pandangi ponselnya. Pesannya kepada Naya sejak pagi tadi belum juga dibalas. Ia juga mengabarkan bahwa sekarang ia terjebak di Rotterdam Central berharap Naya bisa menemaninya, meski ia tak yakin melihat derasnya hujan di luar sana.

Kini ia harus mengabarkan sahabatnya kemungkinan terburuk, bahwa ia tak bisa datang tepat waktu. Maka ia juga tak bisa mendampingi sahabatnya itu di altar. Pasti abis gw dimaki ama tuh bocah, pikir Damar begitu selesai mengirimkan rangkaian pesan kepada Chris.

Dan benar tak lama pesannya terkirim, makian Chris memenuhi percakapan via telepon.

"I won't give any damn more Dam. Come to Wales, or I will cancel my walking down the aisle," ancam Chris serius. "I've told you before, just use my plane from that f***ing Venice of the North. Now get your ass off and get on my plane tomorrow morning."

Damar hanya bisa terkekeh mendengarkan makian sahabat Korea-Amerika nya itu. Meski percakapan itu ditutup dengan tak hentinya Damar mengucapkan terima kasih. Sekarang ia tinggal menghubungi Bagas untuk tektok-an dengan orang suruhan Chris soal jadwal keberangkatannya besok.

"Iya gitu Gas. Coba lo koordinasi sama orangnya si Chris soal besok. Kalau emang Schipol gak bisa, coba Eindhoven atau darimana kek tuh pesawat bisa terbang. Lo berdua atur deh." Telepon Damar terpaksa terhenti sejenak ketika sebuah tepukan di bahunya mengalihkan perhatiannya.

City of EchoesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang